Manusia adalah pribadi yang tak
pernah jera dengan ekspetasi, sungguh
berbeda dengan bola Kristal yang jatuh lantas tidak dapat kembali utuh.
Ekspetasi-kecewa-ekspetasi-kecewa-ekspetasi seperti siklus yang tidak pernah
ada habisnya. Kata ekspetasi sebenarnya merupakan salah satu serapan dari
bahasa asing, yang kurang lebih bisa diartikan harapan atau pengharapan.
Tanpa kita sadari dalam kehidupan
sehari-hari kita sering berekspetasi. Contoh sederhananya saat kita melihat
iklan mie instant di televisi maka kita berekspetasi akan tampilan wah seperti
yang kita lihat di tivi, namun saat pesan di warteg ternyata tampilannya jauh
berbeda, hehehe. Itulah salah satu contoh sederhana dari ekspetasi yang
berakhir dengan kekecewaan.
Setiap manusia tentu memiliki
banyak keinginan, itu merupakan hal yang lumrah. Namun tidak jarang hal yang
terjadi berjalan tidak sesuai dengan apa yang direncanakan maupun diharapkan.
Kecewa? Oo, bukan sekali dua kali saja tentu pernah merasakannya. Pada kenyataannya tidak jarang misalnya suatu
ketika meski kita sudah berupaya sekeras mungkin, sematang-matangnya rencana
kita, tetap saja tidak bisa melawan kehendak Tuhan. Lantas apa sih sebenarnya
rencana Tuhan dengan menggagalkan planning yang sudah matang terencana? Tentu
ada hikmahnya kan ;)?
“Siapa pun berhak kecewa manakala
keinginan dan cita-citanya tidak tercapai. Perasaan kecewa adalah bagian dari
gharizatul baqa (naluri mempertahankan diri)yang Allah ciptakan pada manusia. “
demikian kutipan kata-kata yang pernah saya baca. Setelah membaca kalimat ini
saya yang akhir-akhir ini memang sedang dilanda rasa kecewa jadi merasa sedikit
terhibur. Ternyata rasa kecewa pun adalah bagian dari sifat manusia yang
merupakan selingan antara rasa gembira dan rasa senang yang dikaruniakan oleh
Allah.
Mengapa rasa kecewa bisa hadir? Manusia
bisa merasa kecewa apabila terlalu yakin apa yang ia harapkan maupun rencanakan
akan terkabul (over self confident)
tanpa dibentengi dengan kata “siap gagal” .
Perasaan kecewa sebenarnya
bukanlah salah satu hal negatif. Dari perasaan kecewa kita bisa belajar
memahami ekspetasi-ekspetasi orang lain pula. Memahami ekspetasi orang lain,
inilah hal yang sulit kita pahami dan rasakan. Contoh sederhananya? Dalam
beberapa situasi, misalnya untuk keberlangsungan suatu acara kadang kita
berharap agar tidak hujan. Sementara di sisi lain banyak pula orang yang
berharap diturunkan hujan, karena hujan merupakan sumber rejekinya (misal penjual
payung dan jas hujan). See? Terkadang apa yang kita harapkan bertentangan atau
justru malah menghambat keinginan orang lain yang lebih membutuhkan. Dengan
belajar memahami bahwa ‘harapan/ekspetasi yang tidak terkabul’ bisa jadi itu
merupakan hal yang terbaik bagi semua. Tentu kelak jika mengalami ‘harapan/ekspetasi
yang tidak terkabul’ lagi kita tidak akan terlalu kecewa hingga berlarut-larut.
Dengan siap gagal, saat kecewa karena harapan yang tidak terkabul, maka akan
muncul keikhlasan disertai dengan hati yang lapang. Lalu bagaimana jika harapan
justrU terkabul? Pun kita harus lebih bijak menyikapinya dengan bersyukur dan
tidak disalurkan dengan sikap meledak-ledak pula.
Bersyukur saat kecewa merupakan
sikap mengakui bahwa kita adalah manusia yang tidak lepas dari takdir Allah SWT.
Man Propose, Allah Dispose.