Suguhan
berupa secangkir teh saat bertandang ke rumah seorang kerabat bukan merupakan
hal yang istimewa. Bagaimana tidak? Hampir setiap rumah pasti memiliki
persediaan teh untuk minuman di kala bersantai atau setidaknya untuk suguhan
tamu yang bertandang. Saya rasa semua masyarakat Indonesia pernah mencicipi
kekhasan rasa teh baik disajikan hangat maupun dingin. Harga yang relatif murah
adalah salah satu alasan mengapa teh mudah dijangkau oleh berbagai lapisan
masyarakat, walaupun ada pula teh dengan varian harga yang cukup mahal
tentunya.
Sayang
sekali beberapa waktu belakangan ini, teh, minuman segar nan eksotis ini didera
isu yang tidak mengenakkan. Dalam seminar bertajuk Wujudkan Kedaulatan Pangan
Indonesia di Aula Redaksi Harian Umum Pikiran Rakyat, Ketua Dewan Teh
Indonesia, Rachmat Badruddin menyampaikan bahwa bukanlah merupakan hal yang
mustahil teh di Indonesia akan punah dan anak cucu kita hanya bisa mengonsumsi
teh impor. Padahal komoditas ini pada masa penjajahan Belanda merupakan salah
satu sumber utama pendanaan pembangunan. Hal yang cukup menyedihkan bukan?
Teh
memiliki kesan tersendiri dalam hidup saya, hehe. Sekitar setahun yang lalu
saya sempat melakukan Praktek Kerja Lapang (PKL) yang juga merupakan salah satu
mata kuliah wajib di fakultas. Kebetulan saya ditempatkan di PT Perkebunan
Nusantara VIII Kebun Malabar Kabupaten Pengalengan yang merupakan salah satu
penghasil komoditi teh untuk keperluan eksport. Selama PKL di sana ada begitu
banyak ilmu yang saya peroleh, tidak hanya mengenai teknis pengolahan teh di
pabrik, namun juga mengenai kehidupan kebun, serta berbagai hal yang saya tidak
pernah saya ketahui mengenai teh.
Ada suatu
kebiasaan meminum teh yang diajarkan Pak Mulyadi, Kepala Pabrik di sana, “Kalau
ingin menikmati rasa khas teh seharusnya diminum tanpa tambahan seperti gula”.
Demikian anjuran beliau. Saya, dan kedua teman saya, pada awalnya agak tidak
terbiasa, karena umumnya teh yang selalu dibuatkan oleh ibu kami di rumah
adalah teh manis, tentu saja dengan tambahan gula. Namun setelah seminggu
disuguhi teh tersebut, ternyata benar apa yang Pak Mulyadi katakan, kami justru
merasa ‘ketagihan’ dengan teh tawar tersebut. Ada sensasi tersendiri di lidah,
tehnya terasa sedap tanpa rasa sepat atau pahit.
Meski tidak
mahir dalam menilai kualitas teh seduhan tapi kami dapat membedakan bahwa teh
yang kami cicipi tersebut jelas lebih sedap dibanding teh yang selama ini kami
beli di supermarket. Ternyata perkiraan kami tidak meleset. Saat
berbincang-bincang dengan Pak Mulyadi, beliau bercerita bahwa teh yang selama
ini paling banyak dikonsumsi oleh masyarakat merupakan teh kualitas mutu III
atau IV saja, sedangkan teh yang disuguhkan untuk kami ini merupakan teh
kualitas II. Teh-teh dengan kualitas mutu teratas seperti mutu I dan mutu II diutamakan
untuk target pasar eksport. Kami menjadi penasaran mendengar pernyataan Pak
Mulyadi tersebut. Beliau melanjutkan ceritanya sembari mempersilakan kami untuk
mencicipi teh yang telah dibuat oleh staff penilai kualitas teh.
Menurut
beliau, harga teh berbeda-beda tergantung kualitas mutu teh tersebut. Sehingga
untuk menekan biaya produksi teh yang akan dijual agar harga jual produk akhir
menjadi terjangkau, tentu saja para produsen pengolah teh kemasan menggunakan
kualitas teh yang tidak terlalu mahal yaitu mutu III atau IV. Siapa yang peduli
teh tersebut berasal dari kualitas berapa, toh
sama sama teh juga kan? Teh buatan Indonesia yang merupakan salah satu pemasok
ekspor ke berbagai negara justru tidak dicintai di negaranya sendiri. Adakah
yang bersedia merogoh kantong sedikit lebih besar demi seteguk teh? Sepertinya
tidak. Ada banyak orang yang lebih rela
membeli kopi dengan brand ternama,
aneka cake dan minuman unik di cafe ketimbang sekedar menikmati secangkir teh
berkualitas dengan harga yang sepadan.