Siapa nama pahlawan yang kalian idolakan?
Dan mengapa mengidolakan beliau?
Bukan hari
pahlawan tapi mendadak ngomongin pahlawan idola, random sekali, hehe. Entah kenapa saya mendadak ingat
pertanyaan seorang teman tentang arti nama saya. Seorang teman super guanteng
dan ramah yang cukup dikenal di twitter, Artlagadar. Kata ‘Sartika’ dalam nama saya diambil dari
nama pahlawan, Dewi Sartika. Saya sempat searching di mbah google riwayat hidup
beliau. Benar-benar bikin kagum! Walau namanya tidak se-tersohor ibu kartini,
beliau juga merupakan salah satu pejuang wanita yang juga hebat dalam
memperjuangkan pendidikan di tanah sunda. Ternyata nama saya berrrat! Hehe,
jadi minder sama nama sendiri. Berikut di bawah hasil searching-searchingnya.
Dewi Sartika dilahirkan di keluarga priyayi Sunda, Nyi Raden
Rajapermas dengan Raden Somanagara. Meskipun bertentangan dengan adat waktu
itu, ayah-ibunya bersikukuh menyekolahkan Dewi Sartika di sekolah Belanda.
Setelah ayahnya wafat, Dewi Sartika diasuh oleh pamannya (kakah ibunya) yang
menjadi patih di Cicalengka.
Oleh pamannya itu, ia mendapatkan pengetahuan mengenai kebudayaan Sunda,
sementara wawasan kebudayaan Barat didapatkannya
dari seorang nyonya Asisten Residen berkebangsaan
Belanda.
Sedari kecil , Dewi Sartika sudah menunjukkan bakat pendidik dan
kegigihan untuk meraih kemajuan. Sambil bermain di belakang gedung kepatihan,
beliau sering memperagakan praktik di sekolah, belajar baca-tulis, dan bahasa Belanda,
kepada anak-anak pembantu di kepatihan. Papan bilik kandang kereta, arang, dan
pecahan genting dijadikannya alat bantu belajar.
Waktu itu, Dewi Sartika baru berumur sekitar sepuluh tahun,
ketika Cicalengka digemparkan oleh kemampuan baca-tulis dan beberapa patah kata
dalam bahasa Belanda yang ditunjukkan oleh anak-anak pembantu kepatihan.
Gempar, karena waktu itu belum ada anak (apalagi anak rakyat jelata) yang
memiliki kemampuan seperti itu, dan diajarkan oleh seorang anak perempuan.
Setelah remaja, Dewi Sartika kembali lagi kepada ibunya di
Bandung. Jiwanya yang telah dewasa semakin menggiringnya untuk mewujudkan
cita-citanya. Hal ini didorong pula oleh pamannya, Bupati Martanagara, yang
memang memiliki keinginan yang sama. Tetapi, meski keinginan yang sama dimiliki
oleh pamannya, tidak menjadikannya serta merta dapat mewujudkan cita-citanya.
Adat yang mengekang kaum wanita pada waktu itu, membuat pamannya mengalami
kesulitan dan khawatir. Namun karena kegigihan semangatnya yang tak pernah
surut, akhirnya Dewi Sartika bisa meyakinkan pamannya dan diizinkan mendirikan
sekolah untuk perempuan.
Tahun 1906,
Dewi Sartika menikah dengan Raden Kanduruan Agah Suriawinata, beliau memiliki
visi dan cita-cita yang sama dengan Dewi Sartika, guru di sekolah Karang
Pamulang, yang saat itu merupakan sekolah Latihan Guru.
Terjemahan: Tahun 1906, Dewi Sartika menikah dengan Raden
Kanduruan Agah Suriawinata, beliau mempunyai visi dan cita-cita yang sama
dengan Dewi Sartika, guru di sekolah Karang Pamjulang, yang waktu itu merupakan
sekolah Latihan Guru.
Sejak 1902,
Dewi Sartika sudah merintis pendidikan bagi kaum perempuan. Di sebuah ruangan
kecil, di belakang rumah ibunya di Bandung, Dewi Sartika mengajar di hadapan
anggota keluarganya yang perempuan. Merenda, memasak, jahit-menjahit, membaca,
menulis dan sebagainya, menjadi materi pelajaran saat itu
Usai berkonsultasi dengan Bupati R.A. Martenagara, pada 16 Januari 1904, Dewi Sartika membuka
Sakola Istri (Sekolah Perempuan) pertama se-Hindia-Belanda.
Tenaga pengajarnya tiga orang : Dewi Sartika dibantu dua saudara misannya,
Ny. Poerwa dan Nyi. Oewid. Murid-murid angkatan pertamanya terdiri dari 20
orang, menggunakan ruangan pendopo kabupaten Bandung.
Setahun kemudian, 1905, sekolahnya menambah
kelas, sehingga kemudian pindah ke Jalan Ciguriang, Kebon Cau. Lokasi baru ini
dibeli Dewi Sartika dengan uang tabungan pribadinya, serta bantuan dana pribadi
dari Bupati Bandung. Lulusan pertama keluar pada tahun 1909, bahasa sundabisa
lebih mememenuhi syarat kelengkapan sekolah formal.
Pada tahun-tahun berikutnya di beberapa wilayah Pasundan bermunculan
beberapa Sakola Istri, terutama yang dikelola oleh perempuan-perempuan Sunda
yang memiliki cita-cita yang sama dengan Dewi Sartika. Pada tahun 1912 sudah berdiri
sembilan Sakola Istri di kota-kota kabupaten (setengah dari seluruh kota
kabupaten se-Pasundan). Memasuki usia ke-sepuluh, tahun 1914, nama sekolahnya
diganti menjadi Sakola Kautamaan Istri (Sekolah
Keutamaan Perempuan). Kota-kota kabupaten wilayah Pasundan yang belum memiliki
Sakola Kautamaan Istri tinggal tiga/empat, semangat ini menyeberang ke Bukittinggi,
di mana Sakola Kautamaan Istri didirikan oleh Encik Rama Saleh. Seluruh wilayah
Pasundan lengkap memiliki Sakola Kautamaan Istri di tiap kota kabupatennya pada
tahun 1920,
ditambah beberapa yang berdiri di kota kewedanaan.
Bulan September 1929,
Dewi Sartika mengadakan peringatan pendirian sekolahnya yang telah berumur 25
tahun, yang kemudian berganti nama menjadi "Sakola Raden Déwi". Atas
jasanya dalam bidang ini, Dewi Sartika dianugerahi bintang jasa oleh pemerintah
Hindia-Belanda.
Dewi Sartika meninggal 11 September 1947 di Tasikmalaya,
dan dimakamkan dengan suatu upacara pemakaman sederhana di pemakaman
Cigagadon-Desa Rahayu Kecamatan Cineam.
Tiga tahun kemudian dimakamkan kembali di kompleks Pemakaman Bupati Bandung di
Jalan Karang Anyar, Kabupaten
Bandung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar