Dulu sewaktu kecil saya pernah berpikiran
seperti Dipo seperti yang ditulis Bang Pandji dalam blognya. “Ayah selalu
berdoa semoga aku jadi anak yang penurut dan pintar. Tapi seandainya aku gak
pintar gimana yah? “
Dari kecil kita diberi wejangan “belajar
yang rajin yah nak, supaya pintar”. Nah, kalau sudah rajin belajar tapi tak
kunjung pintar-pintar gimana? Hehehe. Entahlah sampai saat ini saya percaya
bahwa kepintaran maupun kecerdasan setiap orang berbeda beda. Bagi saya di
dunia ini tidak ada orang yang bodoh. Semua yang diciptakan Allah tentu ada
manfaatnya, sekalipun seekor semut. Saya rasa yang namanya pintar maupun cerdas
gak melulu mengenai nilai akademis. Orang yang nilai akademisnya anjlok saya
rasa bukan berarti dia bodoh, seperti kata bang Pandji dalam stand up comedynya
yang berjudul Mesakkke Bangsaku. Seseorang tidak pandai dalam satu hal, contoh
dalam akademis, bukan berarti dia bodoh, mungkin kepintarannya ada di bidang
lain, misalnya entah itu gambar, olahraga, presentasi, nyanyi, nulis, maupun
lainnya. Contohnya saya, kendati tidak pintar dalam hal nulis maupun nyanyi, entah
kenapa saya tetap keukeuh hobbbbby postingin entah itu coveran lagu, maupun
tulisan artikel meskipun trafficnya gak tinggi, hahaha, bisa dibilang over
pede. Kenapa saya tetap keukeuh dan pede posting ? hmmm kenapa yah? saya rasa di dunia ini banyak hal yang awalnya kita tidak bisa akhirnya kita penjadi pandai asal mau di-giat-i dengan usaha, toh kita terlahir ke dunia saat bayi dalam keadaan tidak bisa apa-apa, hingga akhirnya kita bisa beraktivitas ini dan itu. Guru paling berharga adalah pengalaman, hal yang tidak selalu didapat dari bangku sekolah. Semua hal bisa dipelajari, itulah hal yang saya coba yakini, seperti contohnya video di bawah ini.
Berikut di bawah ini saya copykan
isi artikelnya falla adinda, tentang harapan seorang ibu tentang anaknya saat
sudah besar kelak. Di dunia ini mana ada ibu yang gak pingin anaknya jadi anak
yang pintar. Namun ada satu lagi yang diinginkan setiap orang tua, yakni
melihat anaknya bahagia dengan keputusan yang diambilnya J :).
Content Blog Falla Adinda
memiliki suami pintar memang berkah tersendiri sih. Track record
suami ketika SMA yang juara olimpiade matematika dan fisika tingkat nasional
membuatku lega kalau-kalau suatu hari nanti Kakak tidak mengerti mengenai
pelajaran sekolahnya. Aa berhasil lulus SPMB dan masuk ke salah satu fakultas
terbaik di Indonesia, lulus tepat waktu dan masuk residensi pun tepat waktu.
Lega? iya. Karena saya tau, anak saya punya sosok Romo yang bisa ia andalkan.
..
Sebentar, saya mau bercerita mengenai diri saya terlebih dahulu. Saya ini adalah pelajar biasa-biasa saja dari segi akademis. Saya tidak pernah maju dipanggil guru untuk mendapat penghargaan, sayapun kurang menyukai berada di kelas untuk memecahkan masalah menggunakan rumus. Waktu yang paling saya tunggu ketika sekolah hanyalah waktu istirahat dan waktu pulang.
Namun, didikan orang tua saya adalah 'bertanggung jawab', artinya saya harus tetap lulus dari sekolah dengan nilai baik. Terakhir saya cek di ijazah sih, rata-rata 8.8 berhasil saya dapatkan.
Hal tersebut berlanjut hingga saya kuliah. Jurusan saya adalah minat saya sendiri, tapi sebagai seorang pelajar yang sadar diri dengan kemampuan akademis yang cenderung tidak super cemerlang, saya lebih memilih menjadi mahasiswa santai tapi serius. Saya tidak pernah mengejar kesempurnaan cum laude. Saya menolak ikut remedial bila mendapat nilai B di mata kuliah berat. (saya menolak remedial untuk pelajaran biomedik 1 dan berujung nilai C di KHS akhir, iya saking susahnya untuk saya...)
Saya memilih menjadi mahasiswa santai. Datang beberapa menit sebelum bel, keluar tepat setelah bel. Berkumpul dengan gank selepas kelas, main ke mall di tengah mata pelajaran membosankan. Mengikuti berbagai kegiatan di luar kampus yang tak ada hubungannya dengan kedokteran dansibuk pacaran.
Saya lulus bukan sebagai mahasiswa terbaik, boro-boro maju ke depan karena
dianggap sebagai mahasiswa berprestasi, bahkan foto saya ketika tali toga
dipindahkanpun tak ada dokumentasi. Tapi saya tau kewajiban saya, nilai KHS
saya tidak buruk kok, setidaknya untuk syarat administrasi pendidikan dokter
spesialis; semua bisa saya lampaui. Untuk ditunjukkan depan calon mertua pun
tidak memalukan.
Ya.. Intinya sih, saya ini adalah perempuan dengan kemampuan akademis biasa-biasa saja yang jauh dari cemerlang apalagi jenius.
--
"Kak Kiko..... Jadi anak pinter ya, Nak.. Kaya Romo.." Begitu doa hampir sebagian besar orang yang mengusap kepala anak saya. Alih-alih disebut seperti ibunya (tunggu, memang Ibunya seperti apa?). Semua doa tersebut saya aminkan dengan baik, siapa sih Ibu yang tidak senang melihat anaknya mendapat gelar akademik membanggakan?
...
Tapi bagaimana jika tidak? bagaimana bila ternyata....
Kiko mewarisi kemampuan persis seperti saya?
Apa artinya anak saya telah gagal?
---
Sebelum dilanjutkan, saya mau cerita mengenai seorang kenalan saya, sebut saja ia Rafi.
Rafi ini 2x tidak naik kelas di SMA. Iya, bukan sekali, namun 2x. Lulus SMA dengan susah payah, Rafi melanjutkan kuliah di salah satu universitas swasta di Jakarta, mengambil mata kuliah komunikasi. Dengan susah payahpun, akhirnya ia lulus dari kampus tersebut.
Tapi percayalah, Rafi adalah satu dari kenalan yang sangat saya kagumi kepintaran dan wawasannya. Rafi bisa bercerita 24 jam penuh mengenai banyak hal, mengenai mimpi, mengenai sejarah, mengenai isu politik, mengenai faham dan dialektika, mengenai dunia, mengenai hampir apapunkecuali akademis.
Rafi hanya memiliki 1 kekurangan, ia tak sanggup mengikuti pelajaran ilmu pasti dan semua cabang ilmu yang diajarkan di bangku sekolah formal. Bukan saja karena ia tak mau, tapi juga karena ia tak bisa.
Lalu, Rafi jadi apa?
Rafi hari ini adalah jajaran eligible bachelor di Indonesia, ia memilih karir sesuai yang ia ingin yang jauh dari sisi akademis ilmu pasti. Ia jauh lebih mapan dari kakaknya yang seorang dokter. Sosoknya juga sering wara wiri di televisi dan berbagai forum. Hebatnya, Rafi beberapa kali didaulat sebagai dosen di universitas ternama di Indonesia. Bisa bayangkan ada seorang dengan nilai akademis super jelek mengajar anak-anak dengan nilai akademis SMA super baik? :)
dan yang terpenting, ia bahagia.
Ia tidak gagal.
dan ia tidak bodoh.
---
Kembali ke Kak Kiko.
Apabila suatu hari nanti didapati ia tak sepintar Romonya dan memilih menjadi mirip Rafi yang suka sekali hore-hore, ku pastikan ia bukan gagal. Pintar secara akademis itu penting, tapi ada yang lebih penting lagi..
Kiko harus tumbuh menjadi anak yang bahagia, bebas dan merdeka. Ia tidak boleh memiliki perasaan terkekang melihat orang tuanya yang seprofesi. Ia tidak boleh terbebani oleh puja puji orang-orang terhadap Romonya.
Kiko harus menjadi seorang anak yang merdeka. Ku pastikan ia akan menjadi apapun yang ia mau, sejauh ia bertanggung jawab dan bisa menjelaskan secara sempurna mengapa ia memilih jalan itu.
Kiko harus menjadi anak yang tumbuh tanpa beban dan bayang-bayang orang tuanya, tak apa tak dianggap pintar,
yang terpenting bukan seberapa pintar nilai di atas kertas,
tapi seberapa kaya kepala akan pengetahuan, hal umum juga pemikiran berkembang.
Bukan nilai di atas kertas yang akan menjadi penentu,
tapi bagaimana Kiko bisa bermanfaat bagi sekitarnya.
Bagaimana Kiko bisa berdiri tegap tentang apa yang dipilihnya,
walau ia tak mirip Romonya, maupun Ibunya.
..
Sebentar, saya mau bercerita mengenai diri saya terlebih dahulu. Saya ini adalah pelajar biasa-biasa saja dari segi akademis. Saya tidak pernah maju dipanggil guru untuk mendapat penghargaan, sayapun kurang menyukai berada di kelas untuk memecahkan masalah menggunakan rumus. Waktu yang paling saya tunggu ketika sekolah hanyalah waktu istirahat dan waktu pulang.
Namun, didikan orang tua saya adalah 'bertanggung jawab', artinya saya harus tetap lulus dari sekolah dengan nilai baik. Terakhir saya cek di ijazah sih, rata-rata 8.8 berhasil saya dapatkan.
Hal tersebut berlanjut hingga saya kuliah. Jurusan saya adalah minat saya sendiri, tapi sebagai seorang pelajar yang sadar diri dengan kemampuan akademis yang cenderung tidak super cemerlang, saya lebih memilih menjadi mahasiswa santai tapi serius. Saya tidak pernah mengejar kesempurnaan cum laude. Saya menolak ikut remedial bila mendapat nilai B di mata kuliah berat. (saya menolak remedial untuk pelajaran biomedik 1 dan berujung nilai C di KHS akhir, iya saking susahnya untuk saya...)
Saya memilih menjadi mahasiswa santai. Datang beberapa menit sebelum bel, keluar tepat setelah bel. Berkumpul dengan gank selepas kelas, main ke mall di tengah mata pelajaran membosankan. Mengikuti berbagai kegiatan di luar kampus yang tak ada hubungannya dengan kedokteran dan
Ya.. Intinya sih, saya ini adalah perempuan dengan kemampuan akademis biasa-biasa saja yang jauh dari cemerlang apalagi jenius.
--
"Kak Kiko..... Jadi anak pinter ya, Nak.. Kaya Romo.." Begitu doa hampir sebagian besar orang yang mengusap kepala anak saya. Alih-alih disebut seperti ibunya (tunggu, memang Ibunya seperti apa?). Semua doa tersebut saya aminkan dengan baik, siapa sih Ibu yang tidak senang melihat anaknya mendapat gelar akademik membanggakan?
...
Tapi bagaimana jika tidak? bagaimana bila ternyata....
Kiko mewarisi kemampuan persis seperti saya?
Apa artinya anak saya telah gagal?
---
Sebelum dilanjutkan, saya mau cerita mengenai seorang kenalan saya, sebut saja ia Rafi.
Rafi ini 2x tidak naik kelas di SMA. Iya, bukan sekali, namun 2x. Lulus SMA dengan susah payah, Rafi melanjutkan kuliah di salah satu universitas swasta di Jakarta, mengambil mata kuliah komunikasi. Dengan susah payahpun, akhirnya ia lulus dari kampus tersebut.
Tapi percayalah, Rafi adalah satu dari kenalan yang sangat saya kagumi kepintaran dan wawasannya. Rafi bisa bercerita 24 jam penuh mengenai banyak hal, mengenai mimpi, mengenai sejarah, mengenai isu politik, mengenai faham dan dialektika, mengenai dunia, mengenai hampir apapunkecuali akademis.
Rafi hanya memiliki 1 kekurangan, ia tak sanggup mengikuti pelajaran ilmu pasti dan semua cabang ilmu yang diajarkan di bangku sekolah formal. Bukan saja karena ia tak mau, tapi juga karena ia tak bisa.
Lalu, Rafi jadi apa?
Rafi hari ini adalah jajaran eligible bachelor di Indonesia, ia memilih karir sesuai yang ia ingin yang jauh dari sisi akademis ilmu pasti. Ia jauh lebih mapan dari kakaknya yang seorang dokter. Sosoknya juga sering wara wiri di televisi dan berbagai forum. Hebatnya, Rafi beberapa kali didaulat sebagai dosen di universitas ternama di Indonesia. Bisa bayangkan ada seorang dengan nilai akademis super jelek mengajar anak-anak dengan nilai akademis SMA super baik? :)
dan yang terpenting, ia bahagia.
Ia tidak gagal.
dan ia tidak bodoh.
---
Kembali ke Kak Kiko.
Apabila suatu hari nanti didapati ia tak sepintar Romonya dan memilih menjadi mirip Rafi yang suka sekali hore-hore, ku pastikan ia bukan gagal. Pintar secara akademis itu penting, tapi ada yang lebih penting lagi..
Kiko harus tumbuh menjadi anak yang bahagia, bebas dan merdeka. Ia tidak boleh memiliki perasaan terkekang melihat orang tuanya yang seprofesi. Ia tidak boleh terbebani oleh puja puji orang-orang terhadap Romonya.
Kiko harus menjadi seorang anak yang merdeka. Ku pastikan ia akan menjadi apapun yang ia mau, sejauh ia bertanggung jawab dan bisa menjelaskan secara sempurna mengapa ia memilih jalan itu.
Kiko harus menjadi anak yang tumbuh tanpa beban dan bayang-bayang orang tuanya, tak apa tak dianggap pintar,
yang terpenting bukan seberapa pintar nilai di atas kertas,
tapi seberapa kaya kepala akan pengetahuan, hal umum juga pemikiran berkembang.
Bukan nilai di atas kertas yang akan menjadi penentu,
tapi bagaimana Kiko bisa bermanfaat bagi sekitarnya.
Bagaimana Kiko bisa berdiri tegap tentang apa yang dipilihnya,
walau ia tak mirip Romonya, maupun Ibunya.