Saya tiba-tiba
teringat akan seorang sepupu saya yang beberapa waktu lalu datang ke rumah
diantar oleh ibu dan kakaknya. “Tumben sekali jauh-jauh datang dari Lampung ke
Bekasi” demikian yang ada di benak saya, karena dibanding sanak saudara yang
lain saudara saya ini terhitung jarang sekali berkunjung. Pada hari kedua
menginap di rumah kami, barulah uwak (sebutan untuk kakak ayah saya, yang juga
merupakan ibu dari sepupu saya) bercerita perihal kedatangannya. “kenal dokter
yang bisa ngegugurin kandungan gak? S (sepupu saya) hamil” Tanya uwak kepada
ibu saya. Kebetulan ibu saya adalah perawat di rumah sakit negeri di Jakarta.
Tentu saja ibu saya kaget dan menolak permintaan uwak saya tersebut. “Jangan
yuk (sebutan kakak) itu dosa, lagian usia kan dungannya sudah 3 bulan, sudah
besar”. Tolak ibu saya secara halus.
Dalam hal ini
saya tidak bermaksud mengomentari tentang hamil di luar nikah yang dilakukan
sepupu saya. S berasal dari keluarga berada, masih memiliki ayah ibu lengkap
yang bersedia menuruti permintaan S, termasuk dalam hal materi, juga
kakak-kakak yang menyayanginya. S masih terdaftar sebagai salah satu mahasiswi
di Universitas di Lampung. Fisiknya sangat sempurna bahkan sangat cantik
seperti bintang-bintang drama korea. Dengan semua hal yang dia miliki mengapa
dia ingin membunuh bayinya sendiri? Atas dasar malu? Saya sampai kesal. Orang
buta bahkan binatang sekalipun saja bisa mengurus dan menghidupi anaknya dengan
segala keterbatasan yang dimilikinya. Biar bagaimanapun yang berdosa orang
tuanya bukan bayinya. Jadi salah apa si bayinya hingga harus dibunuh?
Kemarin
saat naik angkot kebetulan ada satu
keluarga yang satu angkot dengan saya. Hal yang menarik perhatian saya bukanlah
koper dan barang bawaan yang dibawa keluarga tersebut. Melainkan sepasang suami
istri tersebut yang rupanya tunanetra. Sang suami nampaknya tidak dapat melihat
sama sekali sedangkan sang istri masih bisa melihat dengan mata kirinya.
Pasangan suami istri tersebut membawa serta ketiga anaknya. Atas berkah dan
kuasa Allah, ketiga anaknya memiliki fisik yang sempurna, terutama putranya
yang berusia sekitar 3 tahun, sungguh lucu dan tampan. Saya begitu kagum dengan
kedua orang tua tersebut, dengan segala keterbatasan yang mereka miliki mereka
bahkan bisa jadi manusia yang bermanfaat terutama untuk ketiga buah hatinya.
Sungguh keluarga kecil yang harmonis.
Saya jadi
membayangkan, seandainya saya terlahir dengan keterbatasan fisik, masihkah saya
sanggup menjalani kehidupan seperti manusia pada umumnya ataukah saya akan
terus mengutuki takdir yang tidak adil dan hidup dengan kepesimisan? Seperti
itu bukan sifat manusia kebanyakan? Jangankan keterbatasan fisik. Manusia yang
memiliki fisik sempurna saja masih banyak yang mengeluhkan kekurangannya,
merasa kulitnya kurang putih lah, ingin memiliki rambut yang lurus lah, ingin
memiliki hidung mancung lah, dan masih banyak lagi. Manusia selalu merasa tidak
cukup, bahkan tidak bersyukur.
Untuk melihat
saja sulit, rasa rasanya mengurus diri sendiri saja akan terasa sulit apalagi
harus merawat orang lain? namun sungguh tidak ada yang tidak mungkin di dunia
ini. Buktinya kedua tunanetra tersebut bisa mencukupi kebutuhan diri sendiri
bahkan keluarga tanpa bergantung belas kasih orang lain, sungguh besar kuasa
dan kasih sayang Tuhan, bukan? Atas kuasa Tuhan hewan-hewan dapat hidup damai
bahkan bisa merawat keturunannya, segala makanan sumber kehidupannya tersedia
melimpah di muka bumi. Tidak ada yang tidak mungkin selagi kita mau berdoa dan
berusaha. Insha Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar