Turut prihatin deh rasanya saat menonton
tayangan berita di tv tentang nasib petani kentang di daerah Dieng. Di tv
diberitakan bahwa petani kentang di Dieng mengeluhkan krisis air yang
menyebabkan lahan kering. Sebenarnya issu mengenai kekeringan dan berbagai masalah
kerusakan alam akibat penanaman kentang sudah menjadi masalah klasik di daerah
Dieng.
Kerusakan lingkungan akibat eksploitasi lahan
Dieng menjadi tanaman kentang mengakibatkan krisis air. Sumber air sulit
didapatkan, sementara sumur-sumur yang ada tercemar pestisida. Krisis air ini
sebenarnya seharusnya membangkitkan kesadaran sebagian besar petani di Desa Karangtengah,
Dieng untuk merehabilitasi lingkungan.
Kentang yang kini identik dengan Dieng
sebenarnya adalah tanaman "impor" dari luar daerah. Sebelum
kedatangan kentang, penduduk Dieng adalah penanam jagung dan tembakau. Asal
mulanya ketika para petani kentang di Jawa Barat kehilangan tanaman mereka saat
Gunung Galunggung meletus sekitar tahun 1980-an. Lalu mereka mencari lahan yang
cocok untuk kembali bertanam kentang dan sampailah mereka di Dieng dan menanam
kentang di sana. Itulah asal usul kedatangan kentang di Dieng.
Durasi penanaman yang jauh lebih singkat dan
nilai ekonomis yang dihasilkan kentang membuat para petani Dieng tergiur, dan
perlahan tapi pasti meninggalkan tanaman tradisional mereka, tembakau dan
jagung. Dengan pendapatan yang
menggiurkan itu, tak heran jika para petani Dieng kemudian banting setir
menjadi penggarap kentang.. Pada awalnya pun kentang memang memberikan
kemakmuran bagi penanamnya. Dari kentang para petani bisa membeli sepeda motor,
mobil, bahkan naik haji.
Namun, yang tidak disadari para petani adalah
kentang ternyata tanaman "jahat" yang bisa merusak kondisi lahan di
dataran tinggi Dieng. Sifat kentang yang tidak bisa hidup di bawah tanaman lain
membuat petani rela menebang pepohonan lain demi membuka lahan kentang. Dengan
dibabatnya tanaman keras di pegunungan Dieng, maka tak ada lagi pohon berakar
kuat yang bisa menahan air hujan. Oleh karenanya, saat hujan datang, sedikit
demi sedikit lapisan subur tanah terbawa hujan yang berujung pada kritisnya
kondisi lahan.
Dampak jangka panjangnya adalah kualitas
lahan pertanian Dieng kian hari kian menurun. Akibatnya, pendapatan petani
kentang juga kian hari kian menurun. Kentang yang dahulu memberikan keuntungan
berlipat ganda tak jarang kini justru memberikan kerugian bagi petani.
Lantas
apa yang membuat prihatin? Masalah klasik yang sudah bertahun-tahun terjadi di
dataran tinggi Dieng ini nampaknya tidak menggungah pemerintah untuk turun
tangan. Krisis yang
terjadi ini sebenarnya telah membangkitkan kesadaran sebagian besar petani di
Karangtengah untuk merehabilitasi lingkungan. Para petani sudah mencoba menanam
pohon tegakan keras. Tapi, mereka tidak memiliki dana untuk mendapatkan bibit.
Sampai sekarang tak ada bantuan sama sekali dari pemerintah. Baru-baru
ini petani di Karangtengah telah menanam 60.000 pohon ekalitus. Ekalitus diharapkan dapat menjadi tanaman
alternatif pengganti kentang karena memiliki nilai ekonomis tinggi. Selain itu,
ekalitus juga dapat menyimpan air sehingga dapat mengatasi masalah kekurangan
air, terutama pada musim kemarau. Sekitar 60.000 bibit ekalitus tersebut
didapat petani setempat dari sejumlah instansi swasta. Kelompok tani pernah
mengajukan bantuan kepada pemkab setempat, namun sampai saat ini belum ada
realisasi.