Saya kurang
setuju dengan stigma yang belakangan beredar di masyarakat kurang lebih seperti
ini “untuk apa belajar pinter-pinter toh banyak orang bisa sukses meskipun gak
pinter seperti Ibu menteri Susi dan Bob Sadino”. Umumnya orang yang melontarkan
pernyataan seperti ini hanyalah sebagai excuse. Karena alasan permisif jadi
punya alasan untuk ngeles, sehingga
malas-malasan pun diperbolehkan karena
alasan di atas.
Bob Sadino dikenal
sebagai orang yang selalu menyebut dirinya goblok. Honestly, I think He is not
into it. Menurut saya dia justru sangat brilian dalam pola pikir, cerdas
(kapan-kapan akan saya bahas di blog tentaang Bob Sadino juga yah ;D). Cerdas
menurut saya pribadi berbeda dengan pintar. Mau penggambaran lebih jelas
mengenai perbedaan cerdas dan pintar? Saya sarankan untuk menonton film India
yang berjudul 3 Idiot dengan pemeran utama Amiir Khan sebagai Rancho. Dalam
film ini digambarkan secara pengkarakteran bahwa si cerdas ada dalam karakter
Rancho. Sedangkan si pintar digambarkan dalam karakter Chatur.
Dikisahkan
Seorang Profesor Guru Besar di Universitas, yaitu Virus, memiliki murid
kesayangan yang pintar dan rajin belajar, murid itu adalah Chatur. Ada seorang
murid yang pola pikirnya cukup nyeleneh namun selalu memiliki prestasi
tertinggi di kampus, dialah Rancho. Rancho bukanlah tipe orang yang kutu buku,
ataupun “belajar textbook”. Hal ini tergambar dari sebuah scene saat seorang professor
bertanya apa arti mesin. Rancho menjawab dengan sederhana, sementara Chatur
menjawab dengan penjelasan panjang yang rupanya merupakan jawaban hapalan yang
sama persis seperti di buku. Rancho dimarahi oleh dosen tersebut karena jawaban
yang diutarakan tidak sama seperti buku. Saya hapal dan ingat sekali dengan
scene ini. Itulah pendidikan yang banyak terjadi di sekolah-sekolah bukan? Kebanyakan
pendidikan di sekolah-sekolah mengarahkan kita textbook, pintar secara hapalan,
bukan logika dan pemikiran sederhana. Dan mungkin itu pula lah salah satu
penyebab mengapa Indonesia memiliki banyak siswa-siswa yang berprestasi dalam
bidang pelajaran, contohnya olimpiade fisika, matematika, di luar negeri,
bahkan mengalahkan negara-negara lain. Namun sayang yang bisa menemukan inovasi
baru, pembaruan yang belum ada, paten, hanya segelintir saja seperti Pak Habibie.
Jangan salahkan
anaknya maupun gurunya, saya rasa system pendidikannya yang harus mulai
dibenahi, patokan kompetensi keberhasilan guru dalam mendidik siswanya sudah
sepatutnya tidak berdasarkan patokan ujian nasional. Ujian nasional hanya
berupa angka, bagaimana jika angka tersebut tidak mewakili ilmu-ilmu yang sudah
didapat selama pengajaran. Tidak semua anak mahir dan pintar di semua mata
pelajaran. Setiap anak diciptakan dengan keunikan dan keahlian masing-masing,
passion yang berbeda-beda pula. Ada yang mahir bahasa, berhitung, seni,
olahraga. Jika siswa lemah di mata pelajaran lantas apa anak tersebut dinilai
bodoh? Tentu saja tidak kan? Mungkin cara belajar di sekolahnya yang tidak
sesuai, bukan siswanya yang bodoh. Saya setuju sekali dengan pendapat Bang
Pandji dalam blognya berikut ini.
Saya suka dengan
tema yang pernah diangkat di acara Mata Najwa 24 Desember 2014, saat roadshow
di Aceh dengan tema Pesan untuk Negeriku. Di sana dihadirkan bintang tamu yang
konon katanya dulu saat masa sekolah malas sekolah namun sekarang menjadi sosok
yang sukses, diantaranya Dahlan Iskan, menteri Susi, Faisal Basri, dan Penyanyi
Tompi. Bu Susi bahkan mengatakan bahwa memiliki ilmu yang banyak itu bagus,
salah satunya belajar di sekolah, “hanya saja saya saat itu merasa bahwa saya
tidak suitable dengan sekolah” demikian yang diucapkan bu Susi,
seperti hal yang pernah diucapkan pula oleh Eistein. Satu hal yang sama yang
saya tangkap dari rahasia kesuksesan mereka, kendati mereka tidak menyukai ilmu
yang diajarkan di sekolah, mereka tetap giat belajar dan berusaha keras. Mereka
sangaaat suka membaca. Bukan hanya belajar apa yang diajarkan di sekolah,
mereka banyak membaca buku, entah itu tentang budaya, perekonomian, social,
dll. Ada peribahasa yang mengatakan tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina.
Sungguh peribahasa yang bagus, coba jika peribahasanya begini, “sekolahlah
setinggi mungkin”, maka orientasinya yang dikejar bukan lagi ilmunya melainkan
angka, nilai saja, entah bagaimana pun caranya. Ilmu adalah sesuatu yang
bermanfaat yang tidak mesti diperoleh di bangku sekolah saja bukan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar