Mungkin aku
salah. Salahku berdoa meminta segala sempurna. Hingga Dia meletakkanmu di depan
mata, iya, dihadapanku. Mujur bagiku, neraka bagimu. Aku pun kembali meminta.
Aku ingin yang biasa-biasa saja, karena segala yang berkilau hanya membuatku
silau, hingga terpikir “bagaimana aku bisa melihatmu?”. Terlalu mulus licin
wahai boneka porselen. Hingga kurasa tak akan ada yang tega untuk membuatnya
lecet tergores. Lagipula, siapalah aku ini?.
Aku ingin yang itu saja. Iya, sama, boneka
juga. Boneka yang tidak kalah cantik . Hanya saja berbeda bahan, tak lain
berupa jerami. Kurasa aku pasti akan menyukainya. Aku bisa mendekapnya erat
kemana pun aku mau, tanpa diliputi rasa khawatir rusak, lusuh, maupun hilang.
Boneka jerami
itu tidak bisa kau miliki, nona, sudah terjual. Besok pemiliknya akan kemari
untuk mengambilnya. Kurang lebih itulah ucap pemilik toko meruntuhkan asaku.
Aku bersimpuh di
atas permadani lusuhku. Kulirik kembali boneka porselen dengan senyum
menyungging. Entah sudah berapa waktu yang boneka itu habiskan untuk
menemaniku. Entah sudah berapa gadis yang menawarnya. Bukan, bukan aku tidak
ingin menjualnya. Bukan, bukan aku tidak tertarik oleh tawaran para gadis.
Bagaimana tidak, aku sendiri pun heran mengapa boneka tersebut begitu kokoh
hingga tak ada yang mampu tuk pindahkan. Aku bisa apa?
Aku kembali
bersimpuh. Tuhan, tolong aku tukarkan, biarkan aku terkurung mati menjadi
porselen kaku ini. Dan biarkan boneka itu bebas melangkah. Bukan hanya karena
aku terlalu cinta kesunyian, maupun cinta darimana asalku berada, rumah mungil
ini, bukan hanya itu.
Aku hanya sedang
berpikir dan menimbang-nimbang. Mungkin hanya dengan cara ini aku dapat
membalas jasa boneka porselen ini menemaniku. Mungkin ia lelah dan ingin
beranjak, hanya saja tak mampu berucap. Setidaknya kata ‘terima kasih’ku ini
lebih bermanfaat ketimbang mengucap “maaf aku membuatmu terkurung untuk waktu
yang lama”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar