Singkong identik dengan makanan kampungan. Bahkan makanan rakyat ini dibuat
sebagai kalimat sindiran dengan istilah "Anak Singkong" yang
umumnya ditujukan untuk orang kampung. Ah, andai
saja masyarakat tau betapa bermanfaatnya bahan hasil pertanian ini. Selain kaya
akan zat gizi, singkong dapat diolah menjadi beberapa produk, diantaranya
produk makanan olahan, tepung, bahkan dapat dijadikan sebagai bahan bakar
kendaraan.
Dalam rangka peralihan masa kepresidenan SBY, dibumbui
isu kelangkaan bahan bakar bersubsidi. Di
sisi lain ada penemuan yang cukup membanggakan di bidang energi yaitu
ditemukannya bioethanol atau yang disebut Biopremium ramah lingkungan. Uniknya,
bahan bakar pengganti bensin tersebut diolah dari tanaman, salah satunya
berasal dari umbi singkong.
Bioethanol adalah ethanol yang bahan utamanya dari
tumbuhan dan umumnya menggunakan proses fermentasi. Ethanol berupa cairan
bening tak berwarna, terurai secara biologis (biodegradable), toksisitas rendah
dan tidak menimbulkan polusi udara yg besar bila bocor. Ethanol yg terbakar
menghasilkan karbondioksida (CO2) dan air. Ethanol adalah bahan bakar beroktan
tinggi dan dapat menggantikan timbal sebagai peningkat nilai oktan dalam
bensin. Dengan mencampur ethanol dengan bensin, akan mengoksigenasi campuran
bahan bakar sehingga dapat terbakar lebih sempurna dan mengurangi emisi gas
buang (seperti karbonmonoksida/CO).
Etanol bisa digunakan dalam bentuk murni atau sebagai
campuran untuk bahan bakar bensin maupun hidrogen. Interaksi etanol dengan
hidrogen bisa dimanfaatkan sebagai sumber energi sel bahan bakar ataupun dalam
mesin pembakaran dalam (internal combustion engine) konvensional.
Kelebihan dari etanol berbahan singkong ini adalah
kandungan alkohol atau etil etanolnya bisa mencapai 96%, bahkan bisa
ditingkatkan hingga 99%. Bisa dibandingkan dengan rata-rata kandungan alkohol
pada bahan bakar yang ada sekarang, yang hanya sekitar 70%. Dampak positif
penggunaan bioethanol berbahan singkong sebagai bahan bakar terhadap
perekonomian nasional dan lingkungan adalah Subsidi BBM akan berkurang secara
signifikan sehingga bisa dialokasikan ke sektor lain, dan akan mengurangi
polusi udara mengingat bioethanol yang ramah lingkungan.
Namun, sampai saat ini,
bioetanol belum bisa menggantikan bensin secara penuh. Pertama, perlu biaya
yang sangat besar untuk memproduksi bioetanol dalam jumlah yang sangat banyak.
Kedua, belum tersedianya pabrik besar yang khusus memproduksi bioetanol. Selama
ini bioetanol masih dibuat di rumah-rumah. Itulah kenapa, selama ini peran bioetanol
masih sebagai campuran bensin. Tujuannya untuk lebih menghemat penggunaan
bensin.
Saya pernah baca di harian online Kompas bahwa sebanyak 4.000 kubik cairan energi alternatif jenis
bioetanol Februari 2014 diekspor ke Filipina. Ekspor tersebut disertai
keprihatinan, karena energi alternatif tersebut justru tidak laku di negeri
sendiri. Bioetanol itu
merupakan produk anak usaha PTPN X, yakni PT Energi Agro Nusantara (Enero).
Dirut PTPN X, Subiyono, mengaku kecewa dengan respons pasar dalam negeri yang
minim terhadap pemanfaatan bioetanol untuk menopang ketahanan energi.
Saat ini, pihaknya juga tengah menjajaki kerja sama
ekspor dengan sejumlah pihak lain di luar negeri, di antaranya dari Korea
Selatan, Taiwan, dan Belanda.Sangat disayangkan, tidak ada satu pun dari dalam
negeri yang melirik produk ini, akhirnya terpaksa diekspor.
Di Filipina, bioetanol memiliki prospek yang bagus,
karena negara itu sedang gencar mencanangkan kewajiban pencampuran 10%
bioetanol dalam bahan bakar kendaraan. Untuk keperluan itu, Filipina mengimpor
bioetanol.
Peluang memasok pasar Filipina makin besar, karena
Thailand akan mengurangi ekspor bioetanolnya dan akan digunakan sendiri seiring
dengan implementasi mandatory
blending dari E10 menjadi
E20 (kewajiban pencampuran 20 persen bioetanol).
Ah, kita sungguh beruntung hidup di negeri sekaya
Indonesia. Kita kaya minyak bumi, sekaligus kaya tanaman penghasil minyak
(bensin). Jika bisa memanfaatkannya, kita mungkin bisa menjadi Negara paling
kaya di dunia!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar