Rabu, 20 Mei 2015

Manusia Berencana, Tuhan Menentukan

Manusia adalah pribadi yang tak pernah jera dengan ekspetasi, sungguh  berbeda dengan bola Kristal yang jatuh lantas tidak dapat kembali utuh. Ekspetasi-kecewa-ekspetasi-kecewa-ekspetasi seperti siklus yang tidak pernah ada habisnya. Kata ekspetasi sebenarnya merupakan salah satu serapan dari bahasa asing, yang kurang lebih bisa diartikan harapan atau pengharapan.

Tanpa kita sadari dalam kehidupan sehari-hari kita sering berekspetasi. Contoh sederhananya saat kita melihat iklan mie instant di televisi maka kita berekspetasi akan tampilan wah seperti yang kita lihat di tivi, namun saat  pesan di warteg ternyata tampilannya jauh berbeda, hehehe. Itulah salah satu contoh sederhana dari ekspetasi yang berakhir dengan kekecewaan.

Setiap manusia tentu memiliki banyak keinginan, itu merupakan hal yang lumrah. Namun tidak jarang hal yang terjadi berjalan tidak sesuai dengan apa yang direncanakan maupun diharapkan. Kecewa? Oo, bukan sekali dua kali saja tentu pernah merasakannya.  Pada kenyataannya tidak jarang misalnya suatu ketika meski kita sudah berupaya sekeras mungkin, sematang-matangnya rencana kita, tetap saja tidak bisa melawan kehendak Tuhan. Lantas apa sih sebenarnya rencana Tuhan dengan menggagalkan planning yang sudah matang terencana? Tentu ada hikmahnya kan ;)?

“Siapa pun berhak kecewa manakala keinginan dan cita-citanya tidak tercapai. Perasaan kecewa adalah bagian dari gharizatul baqa (naluri mempertahankan diri)yang Allah ciptakan pada manusia. “ demikian kutipan kata-kata yang pernah saya baca. Setelah membaca kalimat ini saya yang akhir-akhir ini memang sedang dilanda rasa kecewa jadi merasa sedikit terhibur. Ternyata rasa kecewa pun adalah bagian dari sifat manusia yang merupakan selingan antara rasa gembira dan rasa senang yang dikaruniakan oleh Allah.

Mengapa rasa kecewa bisa hadir? Manusia bisa merasa kecewa apabila terlalu yakin apa yang ia harapkan maupun rencanakan akan terkabul (over self confident) tanpa dibentengi dengan kata “siap gagal” .

Perasaan kecewa sebenarnya bukanlah salah satu hal negatif. Dari perasaan kecewa kita bisa belajar memahami ekspetasi-ekspetasi orang lain pula. Memahami ekspetasi orang lain, inilah hal yang sulit kita pahami dan rasakan. Contoh sederhananya? Dalam beberapa situasi, misalnya untuk keberlangsungan suatu acara kadang kita berharap agar tidak hujan. Sementara di sisi lain banyak pula orang yang berharap diturunkan hujan, karena hujan merupakan sumber rejekinya (misal penjual payung dan jas hujan). See? Terkadang apa yang kita harapkan bertentangan atau justru malah menghambat keinginan orang lain yang lebih membutuhkan. Dengan belajar memahami bahwa ‘harapan/ekspetasi yang tidak terkabul’ bisa jadi itu merupakan hal yang terbaik bagi semua. Tentu kelak jika mengalami ‘harapan/ekspetasi yang tidak terkabul’ lagi kita tidak akan terlalu kecewa hingga berlarut-larut. Dengan siap gagal, saat kecewa karena harapan yang tidak terkabul, maka akan muncul keikhlasan disertai dengan hati yang lapang. Lalu bagaimana jika harapan justrU terkabul? Pun kita harus lebih bijak menyikapinya dengan bersyukur dan tidak disalurkan dengan sikap meledak-ledak pula.

Bersyukur saat kecewa merupakan sikap mengakui bahwa kita adalah manusia yang tidak lepas dari takdir Allah SWT.

Man Propose, Allah Dispose.