Rabu, 26 Februari 2014

Product Review : Body Butter Kopi Mustika Ratu

Body butter. Semakin lama semakin banyak saja yah varian pelembab kulit misalnya body lotion, body butter, dan sekarang ada body serum yang ramai di iklan televisi. Yang akan saya review kali ini yaitu body butter mustika ratu  karena kebetulan baru beli di supermarket diskonan, hehe, maklum cewek. Saat mengambil body butter ternyata sudah di plester, jadi beli satu gratis satu, wohoo sungguh lumayan. Berikut penampakannya.



Varian yang saya pilih yaitu kopi. Wangiinya enaaaak banget. Mau dimakan rasanya. Sekilas mirip wangi susu coklat, entahlah. Sepertinya varian yang kopi ini lebih cocok untuk orang yang memiliki jenis kulit kering. Di kemasannya tertera dapat melembabkan dan membantu menjaga kekencangan kulit. Setelah lihat komposisi bahan di belakangnya sepertinya kopi hanya sebagai bahan tambahan untuk aroma saja, karena bahan yang ditulis di awal awal mayoritas olive oil, dan cacao butter. Pantas cocok untuk melembabkan kulit yang kering (cmiiw). Oh iya soal tekstur, tekturnya sangat creaamy, seperti mentega, pantas disebut body butter.

Selasa, 25 Februari 2014

Siapa nama pahlawan yang kalian idolakan?
Dan mengapa mengidolakan beliau?

Bukan hari pahlawan tapi mendadak ngomongin pahlawan idola, random sekali, hehe. Entah kenapa saya mendadak ingat pertanyaan seorang teman tentang arti nama saya. Seorang teman super guanteng dan ramah yang cukup dikenal di twitter, Artlagadar.  Kata ‘Sartika’ dalam nama saya diambil dari nama pahlawan, Dewi Sartika. Saya sempat searching di mbah google riwayat hidup beliau. Benar-benar bikin kagum! Walau namanya tidak se-tersohor ibu kartini, beliau juga merupakan salah satu pejuang wanita yang juga hebat dalam memperjuangkan pendidikan di tanah sunda. Ternyata nama saya berrrat! Hehe, jadi minder sama nama sendiri. Berikut di bawah hasil searching-searchingnya.


Dewi Sartika dilahirkan di keluarga priyayi Sunda, Nyi Raden Rajapermas dengan Raden Somanagara. Meskipun bertentangan dengan adat waktu itu, ayah-ibunya bersikukuh menyekolahkan Dewi Sartika di sekolah Belanda. Setelah ayahnya wafat, Dewi Sartika diasuh oleh pamannya (kakah ibunya) yang menjadi patih di Cicalengka. Oleh pamannya itu, ia mendapatkan pengetahuan mengenai kebudayaan Sunda, sementara wawasan kebudayaan Barat didapatkannya dari seorang nyonya Asisten Residen berkebangsaan Belanda.
Sedari kecil , Dewi Sartika sudah menunjukkan bakat pendidik dan kegigihan untuk meraih kemajuan. Sambil bermain di belakang gedung kepatihan, beliau sering memperagakan praktik di sekolah, belajar baca-tulis, dan bahasa Belanda, kepada anak-anak pembantu di kepatihan. Papan bilik kandang kereta, arang, dan pecahan genting dijadikannya alat bantu belajar.
Waktu itu, Dewi Sartika baru berumur sekitar sepuluh tahun, ketika Cicalengka digemparkan oleh kemampuan baca-tulis dan beberapa patah kata dalam bahasa Belanda yang ditunjukkan oleh anak-anak pembantu kepatihan. Gempar, karena waktu itu belum ada anak (apalagi anak rakyat jelata) yang memiliki kemampuan seperti itu, dan diajarkan oleh seorang anak perempuan.
Setelah remaja, Dewi Sartika kembali lagi kepada ibunya di Bandung. Jiwanya yang telah dewasa semakin menggiringnya untuk mewujudkan cita-citanya. Hal ini didorong pula oleh pamannya, Bupati Martanagara, yang memang memiliki keinginan yang sama. Tetapi, meski keinginan yang sama dimiliki oleh pamannya, tidak menjadikannya serta merta dapat mewujudkan cita-citanya. Adat yang mengekang kaum wanita pada waktu itu, membuat pamannya mengalami kesulitan dan khawatir. Namun karena kegigihan semangatnya yang tak pernah surut, akhirnya Dewi Sartika bisa meyakinkan pamannya dan diizinkan mendirikan sekolah untuk perempuan.
Tahun 1906, Dewi Sartika menikah dengan Raden Kanduruan Agah Suriawinata, beliau memiliki visi dan cita-cita yang sama dengan Dewi Sartika, guru di sekolah Karang Pamulang, yang saat itu merupakan sekolah Latihan Guru.
Terjemahan: Tahun 1906, Dewi Sartika menikah dengan Raden Kanduruan Agah Suriawinata, beliau mempunyai visi dan cita-cita yang sama dengan Dewi Sartika, guru di sekolah Karang Pamjulang, yang waktu itu merupakan sekolah Latihan Guru.
Sejak 1902, Dewi Sartika sudah merintis pendidikan bagi kaum perempuan. Di sebuah ruangan kecil, di belakang rumah ibunya di Bandung, Dewi Sartika mengajar di hadapan anggota keluarganya yang perempuan. Merenda, memasak, jahit-menjahit, membaca, menulis dan sebagainya, menjadi materi pelajaran saat itu
Usai berkonsultasi dengan Bupati R.A. Martenagara, pada 16 Januari 1904, Dewi Sartika membuka Sakola Istri (Sekolah Perempuan) pertama se-Hindia-Belanda. Tenaga pengajarnya tiga orang : Dewi Sartika dibantu dua saudara misannya, Ny. Poerwa dan Nyi. Oewid. Murid-murid angkatan pertamanya terdiri dari 20 orang, menggunakan ruangan pendopo kabupaten Bandung.
Setahun kemudian, 1905, sekolahnya menambah kelas, sehingga kemudian pindah ke Jalan Ciguriang, Kebon Cau. Lokasi baru ini dibeli Dewi Sartika dengan uang tabungan pribadinya, serta bantuan dana pribadi dari Bupati Bandung. Lulusan pertama keluar pada tahun 1909, bahasa sundabisa lebih mememenuhi syarat kelengkapan sekolah formal.
Pada tahun-tahun berikutnya di beberapa wilayah Pasundan bermunculan beberapa Sakola Istri, terutama yang dikelola oleh perempuan-perempuan Sunda yang memiliki cita-cita yang sama dengan Dewi Sartika. Pada tahun 1912 sudah berdiri sembilan Sakola Istri di kota-kota kabupaten (setengah dari seluruh kota kabupaten se-Pasundan). Memasuki usia ke-sepuluh, tahun 1914, nama sekolahnya diganti menjadi Sakola Kautamaan Istri (Sekolah Keutamaan Perempuan). Kota-kota kabupaten wilayah Pasundan yang belum memiliki Sakola Kautamaan Istri tinggal tiga/empat, semangat ini menyeberang ke Bukittinggi, di mana Sakola Kautamaan Istri didirikan oleh Encik Rama Saleh. Seluruh wilayah Pasundan lengkap memiliki Sakola Kautamaan Istri di tiap kota kabupatennya pada tahun 1920, ditambah beberapa yang berdiri di kota kewedanaan.
Bulan September 1929, Dewi Sartika mengadakan peringatan pendirian sekolahnya yang telah berumur 25 tahun, yang kemudian berganti nama menjadi "Sakola Raden Déwi". Atas jasanya dalam bidang ini, Dewi Sartika dianugerahi bintang jasa oleh pemerintah Hindia-Belanda.

Dewi Sartika meninggal 11 September 1947 di Tasikmalaya, dan dimakamkan dengan suatu upacara pemakaman sederhana di pemakaman Cigagadon-Desa Rahayu Kecamatan Cineam. Tiga tahun kemudian dimakamkan kembali di kompleks Pemakaman Bupati Bandung di Jalan Karang Anyar, Kabupaten Bandung.

Jumat, 21 Februari 2014

Teh Indonesia, 'Suguhan Mewah'?

                Suguhan berupa secangkir teh saat bertandang ke rumah seorang kerabat bukan merupakan hal yang istimewa. Bagaimana tidak? Hampir setiap rumah pasti memiliki persediaan teh untuk minuman di kala bersantai atau setidaknya untuk suguhan tamu yang bertandang. Saya rasa semua masyarakat Indonesia pernah mencicipi kekhasan rasa teh baik disajikan hangat maupun dingin. Harga yang relatif murah adalah salah satu alasan mengapa teh mudah dijangkau oleh berbagai lapisan masyarakat, walaupun ada pula teh dengan varian harga yang cukup mahal tentunya.
                Sayang sekali beberapa waktu belakangan ini, teh, minuman segar nan eksotis ini didera isu yang tidak mengenakkan. Dalam seminar bertajuk Wujudkan Kedaulatan Pangan Indonesia di Aula Redaksi Harian Umum Pikiran Rakyat, Ketua Dewan Teh Indonesia, Rachmat Badruddin menyampaikan bahwa bukanlah merupakan hal yang mustahil teh di Indonesia akan punah dan anak cucu kita hanya bisa mengonsumsi teh impor. Padahal komoditas ini pada masa penjajahan Belanda merupakan salah satu sumber utama pendanaan pembangunan. Hal yang cukup menyedihkan bukan?


                Teh memiliki kesan tersendiri dalam hidup saya, hehe. Sekitar setahun yang lalu saya sempat melakukan Praktek Kerja Lapang (PKL) yang juga merupakan salah satu mata kuliah wajib di fakultas. Kebetulan saya ditempatkan di PT Perkebunan Nusantara VIII Kebun Malabar Kabupaten Pengalengan yang merupakan salah satu penghasil komoditi teh untuk keperluan eksport. Selama PKL di sana ada begitu banyak ilmu yang saya peroleh, tidak hanya mengenai teknis pengolahan teh di pabrik, namun juga mengenai kehidupan kebun, serta berbagai hal yang saya tidak pernah saya ketahui mengenai teh.
Ada suatu kebiasaan meminum teh yang diajarkan Pak Mulyadi, Kepala Pabrik di sana, “Kalau ingin menikmati rasa khas teh seharusnya diminum tanpa tambahan seperti gula”. Demikian anjuran beliau. Saya, dan kedua teman saya, pada awalnya agak tidak terbiasa, karena umumnya teh yang selalu dibuatkan oleh ibu kami di rumah adalah teh manis, tentu saja dengan tambahan gula. Namun setelah seminggu disuguhi teh tersebut, ternyata benar apa yang Pak Mulyadi katakan, kami justru merasa ‘ketagihan’ dengan teh tawar tersebut. Ada sensasi tersendiri di lidah, tehnya terasa sedap tanpa rasa sepat atau pahit.
Meski tidak mahir dalam menilai kualitas teh seduhan tapi kami dapat membedakan bahwa teh yang kami cicipi tersebut jelas lebih sedap dibanding teh yang selama ini kami beli di supermarket. Ternyata perkiraan kami tidak meleset. Saat berbincang-bincang dengan Pak Mulyadi, beliau bercerita bahwa teh yang selama ini paling banyak dikonsumsi oleh masyarakat merupakan teh kualitas mutu III atau IV saja, sedangkan teh yang disuguhkan untuk kami ini merupakan teh kualitas II. Teh-teh dengan kualitas mutu teratas seperti mutu I dan mutu II diutamakan untuk target pasar eksport. Kami menjadi penasaran mendengar pernyataan Pak Mulyadi tersebut. Beliau melanjutkan ceritanya sembari mempersilakan kami untuk mencicipi teh yang telah dibuat oleh staff penilai kualitas teh. 
Menurut beliau, harga teh berbeda-beda tergantung kualitas mutu teh tersebut. Sehingga untuk menekan biaya produksi teh yang akan dijual agar harga jual produk akhir menjadi terjangkau, tentu saja para produsen pengolah teh kemasan menggunakan kualitas teh yang tidak terlalu mahal yaitu mutu III atau IV. Siapa yang peduli teh tersebut berasal dari kualitas berapa, toh sama sama teh juga kan? Teh buatan Indonesia yang merupakan salah satu pemasok ekspor ke berbagai negara justru tidak dicintai di negaranya sendiri. Adakah yang bersedia merogoh kantong sedikit lebih besar demi seteguk teh? Sepertinya tidak.  Ada banyak orang yang lebih rela membeli kopi dengan brand ternama, aneka cake dan minuman unik di cafe ketimbang sekedar menikmati secangkir teh berkualitas dengan harga yang sepadan.