Kamis, 26 Maret 2015

Que Sera Sera

Dulu sewaktu kecil saya pernah berpikiran seperti Dipo seperti yang ditulis Bang Pandji dalam blognya. “Ayah selalu berdoa semoga aku jadi anak yang penurut dan pintar. Tapi seandainya aku gak pintar gimana yah? “

Dari kecil kita diberi wejangan “belajar yang rajin yah nak, supaya pintar”. Nah, kalau sudah rajin belajar tapi tak kunjung pintar-pintar gimana? Hehehe. Entahlah sampai saat ini saya percaya bahwa kepintaran maupun kecerdasan setiap orang berbeda beda. Bagi saya di dunia ini tidak ada orang yang bodoh. Semua yang diciptakan Allah tentu ada manfaatnya, sekalipun seekor semut. Saya rasa yang namanya pintar maupun cerdas gak melulu mengenai nilai akademis. Orang yang nilai akademisnya anjlok saya rasa bukan berarti dia bodoh, seperti kata bang Pandji dalam stand up comedynya yang berjudul Mesakkke Bangsaku. Seseorang tidak pandai dalam satu hal, contoh dalam akademis, bukan berarti dia bodoh, mungkin kepintarannya ada di bidang lain, misalnya entah itu gambar, olahraga, presentasi, nyanyi, nulis, maupun lainnya. Contohnya saya, kendati tidak pintar dalam hal nulis maupun nyanyi, entah kenapa saya tetap keukeuh hobbbbby postingin entah itu coveran lagu, maupun tulisan artikel meskipun trafficnya gak tinggi, hahaha, bisa dibilang over pede. Kenapa saya tetap keukeuh dan pede posting ? hmmm kenapa yah? saya rasa di dunia ini banyak hal yang awalnya kita tidak bisa akhirnya kita penjadi pandai asal mau di-giat-i dengan usaha, toh kita terlahir ke dunia saat bayi dalam keadaan tidak bisa apa-apa, hingga akhirnya kita bisa beraktivitas ini dan itu. Guru paling berharga adalah pengalaman, hal yang tidak selalu didapat dari bangku sekolah. Semua hal bisa dipelajari, itulah hal yang saya coba yakini, seperti contohnya video di bawah ini.


Berikut di bawah ini saya copykan isi artikelnya falla adinda, tentang harapan seorang ibu tentang anaknya saat sudah besar kelak. Di dunia ini mana ada ibu yang gak pingin anaknya jadi anak yang pintar. Namun ada satu lagi yang diinginkan setiap orang tua, yakni melihat anaknya bahagia dengan keputusan yang diambilnya J  :).


memiliki suami pintar memang berkah tersendiri sih. Track record suami ketika SMA yang juara olimpiade matematika dan fisika tingkat nasional membuatku lega kalau-kalau suatu hari nanti Kakak tidak mengerti mengenai pelajaran sekolahnya. Aa berhasil lulus SPMB dan masuk ke salah satu fakultas terbaik di Indonesia, lulus tepat waktu dan masuk residensi pun tepat waktu. Lega? iya. Karena saya tau, anak saya punya sosok Romo yang bisa ia andalkan.

..

Sebentar, saya mau bercerita mengenai diri saya terlebih dahulu. Saya ini adalah pelajar biasa-biasa saja dari segi akademis. Saya tidak pernah maju dipanggil guru untuk mendapat penghargaan, sayapun kurang menyukai berada di kelas untuk memecahkan masalah menggunakan rumus. Waktu yang paling saya tunggu ketika sekolah hanyalah waktu istirahat dan waktu pulang.

Namun, didikan orang tua saya adalah 'bertanggung jawab', artinya saya harus tetap lulus dari sekolah dengan nilai baik. Terakhir saya cek di ijazah sih, rata-rata 8.8 berhasil saya dapatkan.

Hal tersebut berlanjut hingga saya kuliah. Jurusan saya adalah minat saya sendiri, tapi sebagai seorang pelajar yang sadar diri dengan kemampuan akademis yang cenderung tidak super cemerlang, saya lebih memilih menjadi mahasiswa santai tapi serius. Saya tidak pernah mengejar kesempurnaan cum laude. Saya menolak ikut remedial bila mendapat nilai B di mata kuliah berat. (saya menolak remedial untuk pelajaran biomedik 1 dan berujung nilai C di KHS akhir, iya saking susahnya untuk saya...)

Saya memilih menjadi mahasiswa santai. Datang beberapa menit sebelum bel, keluar tepat setelah bel. Berkumpul dengan
 gank selepas kelas, main ke mall di tengah mata pelajaran membosankan. Mengikuti berbagai kegiatan di luar kampus yang tak ada hubungannya dengan kedokteran dan sibuk pacaran.

Saya lulus bukan sebagai mahasiswa terbaik, boro-boro maju ke depan karena dianggap sebagai mahasiswa berprestasi, bahkan foto saya ketika tali toga dipindahkanpun tak ada dokumentasi. Tapi saya tau kewajiban saya, nilai KHS saya tidak buruk kok, setidaknya untuk syarat administrasi pendidikan dokter spesialis; semua bisa saya lampaui. Untuk ditunjukkan depan calon mertua pun tidak memalukan.

Ya.. Intinya sih, saya ini adalah perempuan dengan kemampuan akademis biasa-biasa saja yang jauh dari cemerlang apalagi jenius.

--


"Kak Kiko..... Jadi anak pinter ya, Nak.. Kaya Romo.." Begitu doa hampir sebagian besar orang yang mengusap kepala anak saya. Alih-alih disebut seperti ibunya (tunggu, memang Ibunya seperti apa?). Semua doa tersebut saya aminkan dengan baik, siapa sih Ibu yang tidak senang melihat anaknya mendapat gelar akademik membanggakan?

...

Tapi bagaimana jika tidak? bagaimana bila ternyata....
Kiko mewarisi kemampuan persis seperti saya?
Apa artinya anak saya telah gagal?


---



Sebelum dilanjutkan, saya mau cerita mengenai seorang kenalan saya, sebut saja ia Rafi.
Rafi ini 2x tidak naik kelas di SMA. Iya, bukan sekali, namun 2x. Lulus SMA dengan susah payah, Rafi melanjutkan kuliah di salah satu universitas swasta di Jakarta, mengambil mata kuliah komunikasi. Dengan susah payahpun, akhirnya ia lulus dari kampus tersebut.

Tapi percayalah, Rafi adalah satu dari kenalan yang sangat saya kagumi kepintaran dan wawasannya. Rafi bisa bercerita 24 jam penuh mengenai banyak hal, mengenai mimpi, mengenai sejarah, mengenai isu politik, mengenai faham dan dialektika, mengenai dunia, mengenai hampir apapunkecuali akademis.

Rafi hanya memiliki 1 kekurangan, ia tak sanggup mengikuti pelajaran ilmu pasti dan semua cabang ilmu yang diajarkan di bangku sekolah formal. Bukan saja karena ia tak mau, tapi juga karena ia tak bisa.

Lalu, Rafi jadi apa?
Rafi hari ini adalah jajaran
 eligible bachelor  di Indonesia, ia memilih karir sesuai yang ia ingin yang jauh dari sisi akademis ilmu pasti. Ia jauh lebih mapan dari kakaknya yang seorang dokter. Sosoknya juga sering wara wiri di televisi dan berbagai forum. Hebatnya, Rafi beberapa kali didaulat sebagai dosen di universitas ternama di Indonesia. Bisa bayangkan ada seorang dengan nilai akademis super jelek mengajar anak-anak dengan nilai akademis SMA super baik? :)


dan yang terpenting, ia bahagia.
Ia tidak gagal.
dan ia tidak bodoh.


---

Kembali ke Kak Kiko.
Apabila suatu hari nanti didapati ia tak sepintar Romonya dan memilih menjadi mirip Rafi yang suka sekali hore-hore, ku pastikan ia bukan gagal. Pintar secara akademis itu penting, tapi ada yang lebih penting lagi..

Kiko harus tumbuh menjadi anak yang bahagia, bebas dan merdeka. Ia tidak boleh memiliki perasaan terkekang melihat orang tuanya yang seprofesi. Ia tidak boleh terbebani oleh puja puji orang-orang terhadap Romonya.
Kiko harus menjadi seorang anak yang merdeka. Ku pastikan ia akan menjadi apapun yang ia mau, sejauh ia bertanggung jawab dan bisa menjelaskan secara sempurna mengapa ia memilih jalan itu.
Kiko harus menjadi anak yang tumbuh tanpa beban dan bayang-bayang orang tuanya, tak apa tak dianggap pintar,
yang terpenting bukan seberapa pintar nilai di atas kertas,
tapi seberapa kaya kepala akan pengetahuan, hal umum juga pemikiran berkembang.

Bukan nilai di atas kertas yang akan menjadi penentu,
tapi bagaimana Kiko bisa bermanfaat bagi sekitarnya.
Bagaimana Kiko bisa berdiri tegap tentang apa yang dipilihnya,
walau ia tak mirip Romonya, maupun Ibunya.



Belajar [lebih] Bersyukur

Kadang suka sebel juga sih kalo ada orang yang hidupnya (tanpa dia sadari) tergolong beruntung tapi kerjaannya ngeluh melulu, bawaannya pengen dijitak aja, hahaha. Banyak berita duka di sekitar saya akhir-akhir ini, akhirnya jadi ikut-ikutan baper mellow dan sensitive. Emang dasar sayanya aja yang cengeng sih itu mah, hehe. Sempat baca link berikut ini. Isinya kurang lebih menceritakan sisi lain dari kemeriahan konser One Direction. Ada sebagian orang yang nangis dan ngambek karena gak berhasil melihat personil boyband kesayangannya lantaran kehabisan tiket. Ternyata di balik kemegahan konser tersebut terselip kisah yang kalau menurut saya pribadi sih lebih sedih.


(kutipan berita dari Tempo.coonline)
Adalah Pak Rohmana, 56 tahun, pedagang musiman. Dengan lutut gemetaran, ia berjalan perlahan sambil menjajakan dagangannya. Saat seseorang membelikan air minum kemasan botol dan bakpao, ia langsung menangis.
Sejak datang dari Ciamis pukul 06.00 pagi, ia belum makan apa pun. “Perut cuma saya minumin terus. Kalau makan sayang, minum paling Cuma Rp 2 ribu. Di sini semua mahal,” kata dia.
              
  Cukup miris kan? Tapi pemandangan seperti ini sudah tidak asing tentu bagi kita, setidaknya di sekitar saya. Contohnya seperti kisah Almarhum Pak Toha penjualtali sepatu di gerbang lama Unpad. Teman-teman alumni Unpad pasti sudah tidak asing dengan Pak Toha ini.

Saya jadi ingat saat kemarin ada penjual keripik yang menawarkan dagangannya pada saya. Karena saya lihat keripiknya masih banyak, jadi akhirnya saya beli. Pengen nangis rasanya saat saya membayar keripik itu, sang bapak mendoakan saya, salah satunya semoga saya jadi orang yang sukses. Padahal harga keripik yang saya beli tidak seberapa dibandingkan harga jajanan heits masa kini seperti kue cubit matcha, es krim mochi, pie susu, dll. Jika dagangan keripik seperti yang dijual bapak tersebut mulai ditinggalkan oleh masyarakat dikarenakan kalah ngetren dibanding jajanan heits, kelak pedagang-pedagang tradisional  ini mau mencari nafkah dengan cara apalagi yah?

Harga air minum mineral yang dijajakan di pinggir jalan yang mungkin bagi sebagian orang terlihat lebih mahal seribu dua ribu rupiah dibanding mini market tanpa kita sadari dari sanalah pedagang asongan mendapat pundi rupiah untuk makan dan anak sekolah. Tapi gak bisa disalahin juga sih yang takut beli makanan atau minuman di jalan, mungkin karena berita di tivi jaman sekarang juga banyak yang serem-serem entah minuman dibius lah, minuman teh kemasan palsu lah, allahu’alam.


Tanpa kita sadari ada begitu banyak diantara kita, termasuk saya sendiri, kurang mensyukuri apa yang kita miliki. Padahal di luar bisa hidup nyaman seperti yang biasa kita jalani, bagi mereka adalah ‘hal-hal mewah’. Ada sepasang suami istri yang berdoa minta diberi keturunan bertahun tahun namun belum juga dikabulkan sementara di sisi lain ada yang diberi rejeki keturunan malah disia-siakan, bahkan tidak sedikit pula yang digugurkan. Ada yang merasa kurang senang dengan hidungnya yang kurang mancung, kulit kurang putih, mata kurang belo, dsb padahal bayangkan betapa berbesar hatinya orang-orang yang dilahirkan dengan fisik tidak lengkap

 Seperti itu mungkin yah sifat manusia kebanyakan, saat kekurangan atau tidak lagi memiliki, barulah terasa penting hal-hal yang sepele tadi. Aaah jadi mellooow, yuk ah semangaat, karena setiap detik kita bernafas, selalu ada hal yang dapat kita syukuri, contohnya waktu yang dihabiskan bersama orang-orang tersayang.



kisah hidup menarik dari Choi Sung Bong



Senin, 09 Maret 2015

"Belum makan kalau belum ketemu nasi"

Belakangan ini di berita tv marak sekali blow up kasus KPK vs Kapolri serta masalah Ahok vs DPRD, saya sampai jenuh banget ngedengerinnya. Untuk tagline berita di situs online, berita-berita sering saya skip saja, akhirnya lanjut baca berita yang lain. Ada satu berita yang cukup bikin saya geregetan pengen bikin artikel di sini. Yak, tentang impor beras dan ketersediaan bulog untuk pangan nasional. Karena kebetulan saya paham sedikit mengenai teknologi industry pertanian.

Pada situs harian Viva online berikut ini disebutkan bahwa Presiden Jokowi kukuh tidak akan impor beras. Beliau memerintahkan melepas stok beras di bulog untuk disalurkan di pasar. Beliau juga menambah alat dan kebutuhan produksi pertanian di daerah agar petani lebih produktif dalam menghasilkan beras.

Saat pemilu sejujurnya saya tidak sreg dengan kedua kandidat presiden. Namun beberapa kinerja Pak Jokowi ini dalam memperbaiki Indonesia perlahan menurut saya berangsur-angsur lebih baik. Yak salah satu contohnya dalam bidang pertanian seperti yang saya sebutkan di atas. Saya setuju kok jika impor beras dihentikan dengan beberapa alasan yang akan saya paparkan.

“Orang Indonesia meskipun sudah makan roti belum makan namanya kalau belum makan nasi”. Sering mendengar ungkapan ini?. Budaya makan pokok adalah makan nasi sudah mengakar kuat sepertinya di Indonesia. Entah siapa yang awalnya memperkenalkan kebiasaan makan nasi di Indonesia hingga kini menjadi budaya turun temurun.

Konon para pedagang dari Cina yang membawa budaya makan nasi ini masuk ke Indonesia. Sejak tahun 2300 SM penghuni negeri ini telah mulai mengenal nasi sebagai produk olahan dari beras melalui para pedagang Cina tersebut. Dan entah apa yang menjadi alasan utama nenek moyang kita terdahulu sehingga akhirnya memilih nasi ini sebagai makanan pokok favorit. Seiring  bergulirnya waktu tanpa disadari kesukaan ini terwariskan kepada generasi demi generasi selanjutnya untuk kemudian akhirnya menjadi makanan pokok sebagian besar penduduk negeri Indonesia saat ini. Menggeser keberadaan ragam makanan pokok lain yang telah ada sebelumnya. Padahal dulu makanan pokok orang Indonesia sangaaat beragam, tidak melulu nasi, misalnya Singkong, Ubi, Sagu, Pisang, dll. Sebagai contoh, sekarang masyarakat Irian Jaya yang dulunya menjadikan sagu sebagai makanan pokok pun mulai beralih mengkonsumsi nasi sebagai makanan pokok. Jagung yang diidentikan sebagai makanan pokok daerah Madura pun perlahan bergeser menjadi nasi. Namun (sekali lagi) entah mengapa pada akhirnya masyarakat Indonesia hampir seluruhnya kini sangat menggemari nasi sebagai makanan pokoknya. Akibatnya? Kebutuhan beras kian meningkat tiap tahunnya bahkan negeri ini nyaris keteteran menanggulangi masalah tersebut yang berakhir dengan impor beras.

Maka dari itu salah satu usaha untuk menanggulangi persoalan, untuk mengurangi bahkan mencegah terjadinya impor beras, adalah dilakukannya sosialisasi diversifikasi makanan pokok. Mengedukasi masyarakat bahwa sumber makanan pokok bukan melulu hanyalah nasi. Tentunya usaha ini harus didukung penuh oleh pemerintah sehingga masyarakat bisa mulai terbiasa menjadikan selain nasi sebagai sumber karbohidrat utamanya. Diharapkan tidak ada lagi terjadi fenomena yang dianggap lazim ketika piring makan siang kita berisi menu seperti ini : nasi putih, perkedel kentang dan tumis jagung. Yang ternyata seluruhnya terdiri dari karbohidrat. Makanan pokok semua!


Membutuhkan kebiasaan baru yang mesti dilatih untuk menggantikan kebiasaan lama yang sudah mengakar. Ini bukan perkara mudah dan merupakan pekerjaan rumah bagi pemerintah bukan hanya sekedar menggembar-nggemborkan kebijakan diversifikasi pangan. Butuh upaya keras untuk melatih masyarakat indonesia mengubah budaya makan nasi ke makanan yang lain. Seperti gerakan “Sehari Tanpa Nasi” yang dikampanyekan oleh Walikota Depok. Gerakan One Day no Rice merupakan program yang telah digulirkan Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian beberapa tahun lalu. Namun, program ini seperti mendapat momentum ketika Pemkot Depokmulai mengkampanyekan program tersebut pada 22 April 2012. Gerakan One Day no Rice adalah gerakan untuk mencerdaskan bangsa karena karbohidrat tidak hanya bersumber dari nasi saja. Gerakan ini mengajarkan kita untuk berkreasi dalam menyajikan pangan pengganti beras.

Sumber Referensi:
1. http://kisuta.com/20130517-budaya-makan-nasi-bisa-membuat-indonesia-bangkrut
2. http://megapolitan.kompas.com/read/2013/11/18/0750036/Gerakan.dari.Kantin.Balaikota.Depok
3. http://ketahananpangannunukan.blogspot.com/
4. http://risablogedia.blogspot.com/2012/06/tipikal-indonesia-belum-kenyang-kalau.html
5. http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2012/06/10/bisakah-sehari-tanpa-nasi-468767.html