Kamis, 27 November 2014

Kentang, Primadona Dieng yang Menjelma Menjadi Buah Simalakama


Turut prihatin deh rasanya saat menonton tayangan berita di tv tentang nasib petani kentang di daerah Dieng. Di tv diberitakan bahwa petani kentang di Dieng mengeluhkan krisis air yang menyebabkan lahan kering. Sebenarnya issu mengenai kekeringan dan berbagai masalah kerusakan alam akibat penanaman kentang sudah menjadi masalah klasik di daerah Dieng.
Kerusakan lingkungan akibat eksploitasi lahan Dieng menjadi tanaman kentang mengakibatkan krisis air. Sumber air sulit didapatkan, sementara sumur-sumur yang ada tercemar pestisida. Krisis air ini sebenarnya seharusnya membangkitkan kesadaran sebagian besar petani di Desa Karangtengah, Dieng  untuk merehabilitasi lingkungan.
Kentang yang kini identik dengan Dieng sebenarnya adalah tanaman "impor" dari luar daerah. Sebelum kedatangan kentang, penduduk Dieng adalah penanam jagung dan tembakau. Asal mulanya ketika para petani kentang di Jawa Barat kehilangan tanaman mereka saat Gunung Galunggung meletus sekitar tahun 1980-an. Lalu mereka mencari lahan yang cocok untuk kembali bertanam kentang dan sampailah mereka di Dieng dan menanam kentang di sana. Itulah asal usul kedatangan kentang di Dieng.
Durasi penanaman yang jauh lebih singkat dan nilai ekonomis yang dihasilkan kentang membuat para petani Dieng tergiur, dan perlahan tapi pasti meninggalkan tanaman tradisional mereka, tembakau dan jagung.  Dengan pendapatan yang menggiurkan itu, tak heran jika para petani Dieng kemudian banting setir menjadi penggarap kentang.. Pada awalnya pun kentang memang memberikan kemakmuran bagi penanamnya. Dari kentang para petani bisa membeli sepeda motor, mobil, bahkan naik haji.  
Namun, yang tidak disadari para petani adalah kentang ternyata tanaman "jahat" yang bisa merusak kondisi lahan di dataran tinggi Dieng. Sifat kentang yang tidak bisa hidup di bawah tanaman lain membuat petani rela menebang pepohonan lain demi membuka lahan kentang. Dengan dibabatnya tanaman keras di pegunungan Dieng, maka tak ada lagi pohon berakar kuat yang bisa menahan air hujan. Oleh karenanya, saat hujan datang, sedikit demi sedikit lapisan subur tanah terbawa hujan yang berujung pada kritisnya kondisi lahan.
Dampak jangka panjangnya adalah kualitas lahan pertanian Dieng kian hari kian menurun. Akibatnya, pendapatan petani kentang juga kian hari kian menurun. Kentang yang dahulu memberikan keuntungan berlipat ganda tak jarang kini justru memberikan kerugian bagi petani.

Lantas apa yang membuat prihatin? Masalah klasik yang sudah bertahun-tahun terjadi di dataran tinggi Dieng ini nampaknya tidak menggungah pemerintah untuk turun tangan.  Krisis yang terjadi ini sebenarnya telah membangkitkan kesadaran sebagian besar petani di Karangtengah untuk merehabilitasi lingkungan. Para petani sudah mencoba menanam pohon tegakan keras. Tapi, mereka tidak memiliki dana untuk mendapatkan bibit. Sampai sekarang tak ada bantuan sama sekali dari pemerintah. Baru-baru ini petani di Karangtengah telah menanam 60.000 pohon ekalitus.  Ekalitus diharapkan dapat menjadi tanaman alternatif pengganti kentang karena memiliki nilai ekonomis tinggi. Selain itu, ekalitus juga dapat menyimpan air sehingga dapat mengatasi masalah kekurangan air, terutama pada musim kemarau. Sekitar 60.000 bibit ekalitus tersebut didapat petani setempat dari sejumlah instansi swasta. Kelompok tani pernah mengajukan bantuan kepada pemkab setempat, namun sampai saat ini belum ada realisasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar