Minggu, 27 Juli 2014

Euforia Malam Takbiran

Malam ini gema takbir terdengar di seluruh negeri diiringi suara bedug dan suara petasan. Ini  lebaran yang ke-23 kali dalam hidupku. Hanya saja tahun ini lebih berbeda. Bukan hanya karena saya sudah mulai mengenakan hijab saja, entah mengapa saya justru lebih merasa sedih di Idul fitri kali ini.


Terlihat sekali euphoria malam takbiran dimana-mana. Terutama di kota-kota besar seperti Jakarta. Konvoi kendaraan di jalan raya diiringi suara petasan-petasan merupakan hal lumrah yang dapat ditemui saat malam takbiran di sepanjang tahun. Pemandangan indahkah? Mungkin iya bagi sebagian orang.

Saya ingat sekali cerita ibu saya dengan seorang supir bus 9A. saat itu ibu saya sedang berangkat untuk dinas malam saat malam takbiran. “Rame banget ya bu suara petasan. Duit pada dibakar-bakarin, saya narik bus seharian aja dapet setoran ga seberapa”. Celetukan sederhana yang sungguh mengena. Kehidupan di ibu kota memang terasa timpang. Ibu saya adalah seorang perawat di salah satu rumah sakit negeri di Jakarta. Tidak jarang ibu kebagian dinas di malam takbiran. Ibu sering cerita bahwa sewaktu masih ditempatkan di ruang IGD setiap malam takbiran di ruangan selalu penuh ‘bergelimpangan’ korban kecelakaan akibat konvoi takbiran. Euphoria yang seperti ini justru membuat makna malam takbiran jadi tidak terasa.

Dua hari beturut turut sebelum Idul Fitri tiba, saya mendapat dua kabar duka, yaitu meninggalnya ayah dari seorang teman dan seorang lagi yaitu mbah tetangga rumah. Innalillahi wa inna ilaihi rojiun.  Hehehe, mendadak jadi meloow begini, mungkin efek PMS. Di malam takbiran ini saya jadi lebih banyak merenung. Berapa banyak orang yang merayakan lebaran terpisah dengan keluarga karena harus bertugas di hari raya ataupun karena anggota keluarganya sudah terlebih dahulu dipanggil oleh yang Maha Kuasa. Betapa beruntungnya saya, masih diberi kesempatan merayakan Idul Fitri dengan keluarga dan orang orang tersayang L

Tidak ada komentar:

Posting Komentar