Selasa, 10 Februari 2015

Pendidikan yang Mencerdaskan

Saya kurang setuju dengan stigma yang belakangan beredar di masyarakat kurang lebih seperti ini “untuk apa belajar pinter-pinter toh banyak orang bisa sukses meskipun gak pinter seperti Ibu menteri Susi dan Bob Sadino”. Umumnya orang yang melontarkan pernyataan seperti ini hanyalah sebagai excuse. Karena alasan permisif jadi punya alasan untuk ngeles, sehingga malas-malasan  pun diperbolehkan karena alasan di atas.

Bob Sadino dikenal sebagai orang yang selalu menyebut dirinya goblok. Honestly, I think He is not into it. Menurut saya dia justru sangat brilian dalam pola pikir, cerdas (kapan-kapan akan saya bahas di blog tentaang Bob Sadino juga yah ;D). Cerdas menurut saya pribadi berbeda dengan pintar. Mau penggambaran lebih jelas mengenai perbedaan cerdas dan pintar? Saya sarankan untuk menonton film India yang berjudul 3 Idiot dengan pemeran utama Amiir Khan sebagai Rancho. Dalam film ini digambarkan secara pengkarakteran bahwa si cerdas ada dalam karakter Rancho. Sedangkan si pintar digambarkan dalam karakter Chatur.

Dikisahkan Seorang Profesor Guru Besar di Universitas, yaitu Virus, memiliki murid kesayangan yang pintar dan rajin belajar, murid itu adalah Chatur. Ada seorang murid yang pola pikirnya cukup nyeleneh namun selalu memiliki prestasi tertinggi di kampus, dialah Rancho. Rancho bukanlah tipe orang yang kutu buku, ataupun “belajar textbook”. Hal ini tergambar dari sebuah scene saat seorang professor bertanya apa arti mesin. Rancho menjawab dengan sederhana, sementara Chatur menjawab dengan penjelasan panjang yang rupanya merupakan jawaban hapalan yang sama persis seperti di buku. Rancho dimarahi oleh dosen tersebut karena jawaban yang diutarakan tidak sama seperti buku. Saya hapal dan ingat sekali dengan scene ini. Itulah pendidikan yang banyak terjadi di sekolah-sekolah bukan? Kebanyakan pendidikan di sekolah-sekolah mengarahkan kita textbook, pintar secara hapalan, bukan logika dan pemikiran sederhana. Dan mungkin itu pula lah salah satu penyebab mengapa Indonesia memiliki banyak siswa-siswa yang berprestasi dalam bidang pelajaran, contohnya olimpiade fisika, matematika, di luar negeri, bahkan mengalahkan negara-negara lain. Namun sayang yang bisa menemukan inovasi baru, pembaruan yang belum ada, paten,  hanya segelintir saja seperti Pak Habibie.

Jangan salahkan anaknya maupun gurunya, saya rasa system pendidikannya yang harus mulai dibenahi, patokan kompetensi keberhasilan guru dalam mendidik siswanya sudah sepatutnya tidak berdasarkan patokan ujian nasional. Ujian nasional hanya berupa angka, bagaimana jika angka tersebut tidak mewakili ilmu-ilmu yang sudah didapat selama pengajaran. Tidak semua anak mahir dan pintar di semua mata pelajaran. Setiap anak diciptakan dengan keunikan dan keahlian masing-masing, passion yang berbeda-beda pula. Ada yang mahir bahasa, berhitung, seni, olahraga. Jika siswa lemah di mata pelajaran lantas apa anak tersebut dinilai bodoh? Tentu saja tidak kan? Mungkin cara belajar di sekolahnya yang tidak sesuai, bukan siswanya yang bodoh. Saya setuju sekali dengan pendapat Bang Pandji dalam blognya berikut ini.



Saya suka dengan tema yang pernah diangkat di acara Mata Najwa 24 Desember 2014, saat roadshow di Aceh dengan tema Pesan untuk Negeriku. Di sana dihadirkan bintang tamu yang konon katanya dulu saat masa sekolah malas sekolah namun sekarang menjadi sosok yang sukses, diantaranya Dahlan Iskan, menteri Susi, Faisal Basri, dan Penyanyi Tompi. Bu Susi bahkan mengatakan bahwa memiliki ilmu yang banyak itu bagus, salah satunya belajar di sekolah, “hanya saja saya saat itu merasa bahwa saya tidak suitable dengan sekolah” demikian yang diucapkan bu Susi, seperti hal yang pernah diucapkan pula oleh Eistein. Satu hal yang sama yang saya tangkap dari rahasia kesuksesan mereka, kendati mereka tidak menyukai ilmu yang diajarkan di sekolah, mereka tetap giat belajar dan berusaha keras. Mereka sangaaat suka membaca. Bukan hanya belajar apa yang diajarkan di sekolah, mereka banyak membaca buku, entah itu tentang budaya, perekonomian, social, dll. Ada peribahasa yang mengatakan tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina. Sungguh peribahasa yang bagus, coba jika peribahasanya begini, “sekolahlah setinggi mungkin”, maka orientasinya yang dikejar bukan lagi ilmunya melainkan angka, nilai saja, entah bagaimana pun caranya. Ilmu adalah sesuatu yang bermanfaat yang tidak mesti diperoleh di bangku sekolah saja bukan?






Tidak ada komentar:

Posting Komentar