Senin, 02 Februari 2015

Rumah


Kalau melihat kemacetan di Bekasi dan Jakarta yang selalu dijumpai dulu saya sempat terpikir suatu saat nanti rasa rasanya ingin deh punya rumah di desa. Namun pemikiran saya berubah saat saya benar-benar merasakan sendiri tinggal di desa saat KKN di kecamatan Cikoneng, dan PKL di dalam perkebunan di Jawa Barat.

Fasilitas kesehatan di sana masih begitu minim. Di Desa Cikoneng, jalanan besarnya masih berbatu kasar berundak-undak bahkan sangat sulit untuk dilewati angkot. Di kecamatan seluas itu pun hanya tersedia satu perawat, bukan dokter. Boro-boro memikirkan KJS sebagai jaminan kesehatan. Bagaimana kelak jika tiba-tiba anggota keluarga ada yang sakit berat ataupun hendak melahirkan?

Di sana saya merasakan sendiri betapa pembangunan kesejahteraan belum merata di Indonesia contohnya bidang pendidikan. Tenaga pengajar dirasa masih sangat minim, bahkan akses menuju sekolah terbilang sangat jauh, ada yang menempuh perjalanan kaki 2 jam untuk menuju sekolah. Saya bahkan sedih saat mendengar cerita adik-adik di sana yang bekerja membantu orang tua di kebun serta masih meluangkan waktu untuk mengaji pula, subhanallah.

Tapi desa yang pernah saya kunjungi masih lebih baik ketimbang yang pernah dikunjungi adik saya, setidaknya beberapa warga di desa yang saya kunjungi sudah memiliki wc meskipun kebanyakan masih buang hajat di jamban di empang. Sewaktu adik saya praktek di salah satu di Jawa Tengah, saking banyaknya orang yang BAB sembarangan, bahkan sampai di tulis di papan dilarang BAB di sini.

Saat tinggal di dalam perkebunan Malabar untuk menuju pasar harus ditempuh waktu satu jam menggunakan motor ataupun kendaraan untuk keluar dari kebun. Jadi saya dan kedua teman saya membeli kebutuhan makanan dan minum sehari hari seminggu sekali, karena tidak ada pasar, toko, maupun warung di dalam perkebunan. Bahkan saat malam hari jalanan besar menuju keluar kebun sama sekali tidak dilengkapi oleh lampu jalan, benar-benar gelap.

Namun demikian di sisi lain saya juga sangaat senang tinggal di sana, keramahan dan kebaikan hati masyarakatnya akan membuat siapapun betah. Adik saya bahkan saat pulang ke rumah diberikan dua dus oleh-oleh dari warga desa tersebut.

Seandainya saja pemerintah tidak hanya memajukan pembangunan di kota saja yah. Maka masyarakat desa pun dapat merasakan kemudahan fasilitas seperti yang kita dapatkan di kota, contohnya fasilitas kesehatan, pendidikan, sarana umum. Ternyata saya harus tetap bersyukur meskipun di jejaring sosial Bekasi dibully karena jarak tempuhnya yang jauh, udaranya yang panas, dan kemacetannya.

Rumah.
Adalah tempat berpulang.
Kemanapun jauhnya pergi, rumah akan selalu dirindukan.
Seberapa nyamannya tempat-tempat yang dikunjungi, rumah adalah tempat ternyaman.
Rumah tidak melulu berupa kata benda yang berarti tempat tinggal yang dihuni.
Rumah tidak selalu berarti sebuah bangunan.
Bagi saya pribadi rumah dapat diartikan orang-orang tersayang.
Seburuk apapun hal yang saya lakukan, mereka masih berharap saya 'pulang' dan masih menerima saya dengan uluran tangan kasih sayang.
Rumah bagi saya adalah keluarga yang saya miliki baik kini dan nanti, serta sahabat-sahabat yang begitu tulus yang saya miliki, yang saling mencintai karena Allah.

Rumah, tidak penting dimana pun lokasinya, di desa, di kota, di dekat pantai, maupun di pegunungan, semua bukan masalah lokasinya maupun besar kecilnya, yang terpenting, melainkan dengan siapa kita meninggali 'rumah' tersebut.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar