Sabtu, 13 September 2014

Being Mature



Manusia datang dan pergi. Perlahan tapi pasti kita akan kehilangan orang-orang yang disayangi, entah karena masalah entah karena Tuhan memanggil. Pemikiran yang sungguh belum dewasa bukan? Saya pun  merasa bahwa saya tidak dapat berpikiran dewasa. Tapi entah mengapa para sahabat dan teman-teman saya selalu bilang bahwa pola pikir saya sungguh dewasa, mereka bilang awal melihat saya pasti akan langsung menebak bahwa saya 'anak manja' tapi akan berubah pikiran setelah kenal jauh. Ah entahlah, saya tetap anak biasa yang manja pada ibunya.


Saat menjadi dewasa kita merasa harus bersikap begini begitu. Tidak boleh begini dan begitu. Saat kecil saya selalu menangis di depan pintu menghalangi ibu saya yang mau berangkat kerja. Saya rasa bukan hanya saya saja kan yang demikian (karena kedua adik saya tidak demikian)? Ibu saya pernah cerita teman sekantornya X pernah membawa anaknya euis ke kantor, ibu X ini selalu bilang ke anaknya bahwa bahwa ibu kerja buat jajan euis. Saat dimomong oleh teman-teman ibunya anaknya cerita begini "euis gak apa-apa kok kalo gak boleh jajan asal bunda di rumah aja terus, kayak mamanya teman-teman is di rumah", celetukan pemikiran jujur anak-anak yang tidak pernah berpikir dari sudut pandang terburuk, celetukan jujur seorang anak yang tidak pernah mau kehilangan orang yang disayang.
 Pagi ini saya terbangun disambut dengan wejangan "kamu itu harus begini dan begitu". Nasihat demi kebaikan tentu saya lakukan, tapi tentu ada kerinduan akan masa-masa bebas, masa kecil. Ah jadi kangen rasanya masa kecil saya yang boleh ini itu, paling-paling hukuman terberat adalah omelan dan cubitan. Saya yang bebas bermain-main dengan anjing milik sahabat saya tanpa peduli liurnya najis atau tidak. Saya yang bebas berlatih taekwondo meski harus merusak pagar rumah yang berakhir dengan omelan ayah saya :p. Saya yang selalu nakal, namun tetap disayang, bahkan dipilih wali kelas Sd untuk menjadi km,ataupun sekretaris, bendahara les, ikut lomba, maupun jadi pemain gamelan. Murid yang dipanggil pak gurunya si cantik, meskipun saya tau, panggilan tersebut bukan karena muridnya berwajah cantik, melainkan panggilan kesayangan, seperti seorang ayah yang selalu membanggakan anaknya.  Saya yang memiliki teman laki-laki lebih banyak daripada teman wanita, karena sifat saya yang jauh sangat tomboy bila dibandingkan dengan sekarang, yang tidak mengenal apa itu istilah muhrim. Saya yang selalu menodong Kakak saya, kak ipan untuk dibelikan petasan air mancur ataupun minta diajak jalan-jalan. Saya yang tidak peduli meski sering dimarahi. Ah rindu masa-masa seperti itu.
Lagi-lagi jiwa sentimentil saya muncul. Hanya karena hal-hal sepele saya bisa jadi cengeng, berbeda dengan sewaktu kecil, anak yang tangguh. Dan karena sifat saya yang sekarang ini, bahkan saat tidak kuat menampung masalah hidup dua tahun terakhir. Saya bukan sekali dua kali mencoba melakukan tindakan bodoh seperti bunuh diri. Ibu saya bahkan membawa saya ke dokter psikiater kenalannya. Saya menulis jurnal harian pun atas dasar 'resep' sang dokter, meskipun mempublish-nya dalam bentuk blog adalah inisiatif saya sendiri. Menulis merupakan salah satu terapi curhat kepada diri sendiri. Dari sana kita bisa mengukur, membaca, dan menilai pola pikir dan diri kita sendiri, sejauh mana kita sudah melangkah.
Saya selalu menjadi 'gudang' curhat orang-orang di sekitar saya. Namun menurut analisa si dokter, saya justru tipe orang yang memendam masalah sendiri, sulit untuk curhat masalah kepada orang lain, tidak dewasa. Dokter  mengatakan bahwa dengan menceritakan masalah kita, memang tidak mungkin serta merta selesai itu masalah begitu saja, namun ada satu hal, akan ada sedikit perasaan lega saat kita bisa menceritakan masalah, itulah gunanya teman curhat. Saya pun bertanya "masa saya dateng ke sini cuma untuk curhat dok, dokter kan sibuk?" Si dokter malah tersenyum menyatakan "tidak ada hal yang 'cuma', itu memang tugas saya". Di sela-sela konsultasi si dokter pernah bilang, kalau saya sepertinya orang yang belum siap menerima fase perpindahan menuju 'kedewasaan'.  Dokter pun bilang saya  seharusnya merasa beruntung karena dipercaya oleh orang-orang untuk menceritakan masalahnya, karena gak semua orang bisa menjadi pendengar curhat yang baik, contohnya kalau kita bilang ke orang depresi "kenapa sedih? dunia penuh hal gembira!" Sama aja kayak ngomong ke pas asma "kenapa sesak? Dunia penuh oksigen!". Bayangkan saja jika orang seperti itu dijadikan tempat curhat? Yang ada malah jadi semakin menambah beban pikiran bukan?

Setelah semua ini sudah siapkah saya untuk menjadi dewasa? Entahlah. Menjadi dewasa adalah suatu keharusan, bukan pilihan. Seperti kata iklan salah satu provider seluler, "menjadi dewasa keliatannya menyenangkan, tapi susah dijalani". Ah peterpan, can you take me to your neverland? 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar