Sabtu, 06 September 2014

Potret Petani Indonesia

          


           “Mau jadi petani yah?” itulah jawaban yang selalu orang-orang lontarkan setiap menanyakan jurusan kuliah saya. Saya sebenarnya berkuliah di Fakultas Teknologi Industri Pertanian, bukan di Fakultas Pertanian, hal yang sejujurnya jelas sangat berbeda. Mata kuliah Manajemen Operasi, Desain Produk, Rancangan Operasional, Manajemen Proyek, Menggambar Teknik, Ekonomi Teknik, Ergonomi, Konversi Energi, adakah yang berkaitan dengan pertanian?
          Apapun yang dikomentarkan, selama itu baik, saya aminkan J. Yang saya tidak sukai dari pendapat orang lain yaitu seakan-akan petani adalah pekerjaan buruh rendahan. Padahal jujur saya menganggap petani adalah salah satu pekerjaan mulia, apalagi bila dibandingkan dengan koruptor. Toh mereka menafkahi keluarga dengan tangannya dengan rejeki yang halal kan? :’). Keadaan yang sungguh berbeda dengan negara luar yang sangat peduli terhadap sektor pertanian seperti Swiss, Turki, Jepang, dll.
 Hanya sekedar segelintir orang yang betul-betul peduli terhadap kesejahteraan petani, sedangakan peranan Negara? Entahlah. Upaya program pemerintah seperti intensifikasi dan ekstensifikasi lahan saya akui memang baik, hanya saja saya rasa harus pula diimbangi dengan ‘meningkatkan edukasi’ petani pula. Upaya  pemerintah seperti memberi harga pupuk yang murah justru malah menguntungkan petani untuk jangka waktu pendek saja, jangka panjangnya? Tanah lama-lama semakin rusak sehingga tidak lagi produktif, belum lagi residu pada hasil pertanian yang tidak baik bagi tubuh. Memang sih ada upaya-upaya kecil contohnya dari teman-teman kalangan mahasiswa seperti yang pernah saya dan teman-teman lakukan pada kegiatan bakti desa, yaitu penyuluhan kepada petani mengenai pembuatan pupuk organik, yang aman bagi lingkungan, hanya saja coba bayangkan rasio pemberi penyuluhan bila dibandingkan dengan jumlah petani di Indonesia, masih sangat timpang,.
Lihat saja realita di pasaran, beras dijual dengan harga tinggi, sedangkan gabah dari petani dihargai sangat rendah. Sadarilah bahwa beras yang kita santap dibumbui dengan ketidak adilan dan kerasnya hidup petani. Dengan langkah menambah edukasi petani diharapkan tidak banyak lagi kasus-kasus “tikus mati di lumbung padi” seperti Kasus yang terjadi di Kota Batu Malang pada Januari 2014. Sejumlah petani wortel Kota Batu, tidak memanen wortelnya, dengan jumlah yang tidak sedikit yaitu 200 Hektar. Hal ini disebabkan lantaran harga wortel yang anjlok yaitu mencapai Rp 700,- /kg. dengan harga jual yang sangat rendah tentu tidak akan menutup biaya produksi yang sudah dikeluarkan. Seandainya ada ‘orang’ atau ’badan’ yang tidak pelit ilmu dan mau turun tangan mau membantu petani-petani tersebut, misalnya mengolah wortel-wortel tersebut menjadi bentu produk olahan yang memiliki nilai ekonomis lebih tinggi seperti diolah menjadi jus kemasan, saus, bubuk wortel, maupun campuran bahan makanan seperti cake.
Untuk kasus-kasus seperti ini peranan pemerintah saya rasa akan sangat membantu, dengan memfasilitasi sarana produksi pengolahan hasil-hasil pertanian. Coba bayangkan harga wortel yang hanya Rp 700,-/ kg apabila diolah menjadi bubuk wortel (carrot powder) harganya mencapai Rp 700.000,-/kg. Lagi-lagi, sayangnya Pasaran luar negeri masih didominasi oleh Negara-negara melek teknologi seperti Cina, Amerika, Austria, dll. Jika keadaan terus menerus seperti ini rasa-rasanya informasi-informasi yang sangat bagus yang diperoleh dari hasil penelitian skripsi rasanya semuanya menguap begitu saja, miris. :’(. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar