Minggu, 17 Agustus 2014

Terima kasih,


Mungkin aku salah. Salahku berdoa meminta segala sempurna. Hingga Dia meletakkanmu di depan mata, iya, dihadapanku. Mujur bagiku, neraka bagimu. Aku pun kembali meminta. Aku ingin yang biasa-biasa saja, karena segala yang berkilau hanya membuatku silau, hingga terpikir “bagaimana aku bisa melihatmu?”. Terlalu mulus licin wahai boneka porselen. Hingga kurasa tak akan ada yang tega untuk membuatnya lecet tergores. Lagipula, siapalah aku ini?.
 Aku ingin yang itu saja. Iya, sama, boneka juga. Boneka yang tidak kalah cantik . Hanya saja berbeda bahan, tak lain berupa jerami. Kurasa aku pasti akan menyukainya. Aku bisa mendekapnya erat kemana pun aku mau, tanpa diliputi rasa khawatir rusak, lusuh, maupun hilang.
Boneka jerami itu tidak bisa kau miliki, nona, sudah terjual. Besok pemiliknya akan kemari untuk mengambilnya. Kurang lebih itulah ucap pemilik toko meruntuhkan asaku.
Aku bersimpuh di atas permadani lusuhku. Kulirik kembali boneka porselen dengan senyum menyungging. Entah sudah berapa waktu yang boneka itu habiskan untuk menemaniku. Entah sudah berapa gadis yang menawarnya. Bukan, bukan aku tidak ingin menjualnya. Bukan, bukan aku tidak tertarik oleh tawaran para gadis. Bagaimana tidak, aku sendiri pun heran mengapa boneka tersebut begitu kokoh hingga tak ada yang mampu tuk pindahkan. Aku bisa apa?
Aku kembali bersimpuh. Tuhan, tolong aku tukarkan, biarkan aku terkurung mati menjadi porselen kaku ini. Dan biarkan boneka itu bebas melangkah. Bukan hanya karena aku terlalu cinta kesunyian, maupun cinta darimana asalku berada, rumah mungil ini, bukan hanya itu.
Aku hanya sedang berpikir dan menimbang-nimbang. Mungkin hanya dengan cara ini aku dapat membalas jasa boneka porselen ini menemaniku. Mungkin ia lelah dan ingin beranjak, hanya saja tak mampu berucap. Setidaknya kata ‘terima kasih’ku ini lebih bermanfaat ketimbang mengucap “maaf aku membuatmu terkurung untuk waktu yang lama”.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar